PENYELEWENGAN DAN DAMPAK TAMAN PAKSA
A. PENYELEWENGAN TANAM PAKSA
Dalam
kenyataannya pelaksanaan tanam paksa tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
pada masa itu. Menurut ketentuan, pemerintahan kolonial seharusnya mengadakan
perjanjian dengan rakyat terlebih dahulu, tetapi dalam prakteknya, dilakukan
tanpa perjanjian dengan penduduk desa sebelumnya dan dengan cara memaksa.
Sehingga, banyak terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan oleh pegawai kolonial, bupati dan kepala desa itu sendiri
mengakibatkan timbul penderitaan pada penduduk desa yang bersangkutan. Bupati
dan kepala desa bekerja bukannya mengabdi kepada kepentingan rakyat desa
melainkan kepada pemerintah kolonial atau demi kepentingan pribadi, membuat
merosotnya martabat dan kewibawaan pejabat-pejabat yang bersangkutan dan juga
dianggap sebagai kaki tangan pemerintah kolonial (Elisabet, 1988:4).
Contoh penyimpangan adalah tanah yang dipakai bisa lebih
dari 1/5 bagian, selisih harga tidak diberikan ke petani, kegagalan panen
ditanggung petani. Rakyat masih diwajibkan kerja rodi. Dengan penyimpangan
tersebut para aparat pemerintah dan Bupati dapat mengumpulkan Cultur procenten
yang banyak untuk memperkaya diri di atas penderitaan rakyat. Terjadi
kemiskinan, kelaparan dan kematian. Contoh seperti di Cirebon (1844), Demak
(1848), Grobogan Purwodari (1849).
Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, ketentuan yang
sudah dibuat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Terdapat
penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:
1. Perjanjian tersebut
seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan
dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal
seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan
tanah mereka;
2. Di dalam perjanjian, tanah
yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia
sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu
sepertiga atau setengah sawah
3. Waktu untuk bekerja untuk
tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah
ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam
pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun
4. Orang yang dipekerjakan
berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal manakan harus
disediakan sendiri;
5. Tanah yang digunakan untuk
penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian;
6. Kelebihan hasil tidak
dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual
kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;
7. Dengan adanya sistem persen
yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa
orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak
8. Tanaman pemerintah harus
didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu
untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang
maksima;
9. Kegagalan panen tetap
menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.
Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik
dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan
perlawanan tetapi tidak pernah berhasil. Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri
secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda
sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap
pelaksanaan sistem tanam paksa.
B. DAMPAK TANAM PAKSA
Pemerintah
kolonial dalam usaha meningkatkan produksi eksportnya menentukan tanaman yang
memberikan keuntungan besar yaitu tebu dan kopi. Tanaman tebu merupakan tanaman
tahunan yang membutuhkan irigasi, dan dapat ditanam di sawah, sehingga
memungkinkan dapat menanam tebu dan padi bergantian. Sedangkan penanaman tebu
tidak cukup kalau hanya mengandalkan pada perluasan tanah, tanpa diimbangi oleh
irigasi jalan raya dan sebagainya. Penduduk desa pada dasarnya mempunyai jiwa
sosial yang tinggi, sehingga mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan itu dengan
semangat gotong royong dan kekeluargaan, hal inilah yang disalahgunakan oleh
penguasa dan pemerintah kolonial untuk mempekerjakan mereka dan memberi upah
yang minim (Boeke, 1983:25).
Pendirian
pabrik-pabrik gula berarti banyak tanah desa yang dipergunakan untuk menanam
tebu. Hasil produksi tebu yang meningkat mengakibatkan harus memerlukan banyak
tenaga penduduk desa.
Berdasarkan
pengalaman dalam kerja paksa ini membuat para penguasa swasta mendapat
keuntungan besar dari hasil kontrak gula dengan pemerintah kolonial. Para
penguasa swasta mulai berani menggunakan “kerja bebas” yaitu upah yang tidak
berdasarkan paksaan melainkan berdasarkan persetujuan sukarela. Jalan-jalan dan
alat-alat pengangkutan diperbanyak karena itu penguasa Eropa di Jawa berusaha
untuk mengadakan ekspansi. (Burger;1977;204).
Pelaksanaan
tanam paksa di Jawa berlangsung lebih kurang selama 40 tahun dan memberikan
hasil yang baik bagi pemerintah kolonial sehingga dapat membangun di segala
bidang. Sedangkan bagi penduduk di Jawa khususnya, memberikan pula dampak dalam
bidang sosial maupun ekonomi, antara lain:
Dampak Sosial:
- Terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi.
Dalam bidang
pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya
perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan
terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam
pembagian tanah. (Sartono ; 1987;321).
- Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat.
Hal ini malahan
menghambat perkembangan desa itu sendiri. Karena penduduk lebih senang tinggal
di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan
untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
Dampak ekonomi:
- Pekerja mulai mengenal system upah.
Dengan adanya
tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya
tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan
gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik
gula.
- Hasil produksi tanaman ekspor bertambah.
Dalam
pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah
pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa
menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan
demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah, mengakibatkan
perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia
di kemudian hari.(Burger;1977;18).
Adapun dampak
lain dari pelaksanaan tanam paksa ini baik dampak tanam paksa bagi belanda
maupun Indonesia yaitu:
Dampak tanam paksa bagi belanda:
a. Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi
b. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja
c. Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu
melunasi utang-utang Indonesia
d. Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil
tanaman tropis.
Dampak tanam paksa bagi Indonesia:
a. Menyebabkan tekanan fisik maupun metal yang
berkepanjangan bagi ralyat Indonesia
b. Jumlah penduduk jawa menurun drastic dikarenakan
banyaknya kelaparan dan kematian karena system tanam paksa ini
c. Pertanian terutama hasil padi mengalami banyak kegagalan.
Munculnya
“kerja rodi” merupakan salah satu akibat lain dari adanya tanam paksa.
Pengertian “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah
yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh
pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya,
jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial,
dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se
tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut
surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan
melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai
kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
Dampak lain
dari tanam paksa tersebut yaitu secara tidak sengaja juga membantu kemajuan
bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan
bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
No comments:
Post a Comment