Graaf Johannes van den Bosch, pelopor Cultuurstelsel
Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budaya) yang oleh sejarawan
Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam
Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830
yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu,
dan tarum
(nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga
yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%)
pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada
praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah
pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada
pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk
praktik cultuurstelstel pun tetap
dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama
setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam
paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC
wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu
dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset
tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman
keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835
hingga 1940.
Akibat
sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch
selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25
Desember 1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul
berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU
Agraria 1870 dan UU
Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah
penjajahan Indonesia.
Sejarah
Pada
tahun 1830
pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa
terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830),
Gubernur Jenderal Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa
(Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang
kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem
tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah
kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen
utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa
(kopi,
tebu,
dan nila).
Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima
luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan
mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila
pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak
tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang,
desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem
tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830
sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840
sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah
kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang
serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar
dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi
pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena
antara 1831-1871
Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823
juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen
anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an,
72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda.
Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai
kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun
mengalami surplus.
Badan
operasi sistem tanam paksa Nederlandsche
Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat
tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung.
Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon,
Jawa
Barat. Kelaparan juga melanda Jawa
Tengah, tahun 1850.
Sistem
tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai
kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870,
meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU
Agraria 1870.
Aturan
Berikut
adalah isi dari aturan tanam paksa
1
Tuntutan
kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk
cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk
ditanami jenis tanaman perdagangan.
2
Pembebasan
tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya
dianggap sebagai pembayaran pajak.
3
Rakyat
yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di
perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda
selama 66 hari atau seperlima tahun.
4
Waktu
untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh
melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
5
Kelebihan
hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
6
Kerusakan
atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani
seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
7
Penyerahan
teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Serangan-serangan
dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan
dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon.
Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah
telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra
Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun
serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra
muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di
lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di
bidang politik dipimpin oleh Baron
van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik
etis.
Kritik kaum liberal
Usaha
kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada
tahun 1870,
dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische
Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya
terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan
liberal
di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu
kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum
liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut
campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi
ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung
warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan
serta ketertiban.
UU
ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan
yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman
keras seperti karet, teh,
kopi,
kelapa
sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman
semusim seperti tebu dan tembakau
dalam bentuk sewa jangka pendek.
Kritik kaum humanis
Kondisi
kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik
dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten
Residen di Lebak, Banten,
Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max
Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker
menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan
kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang
anggota Raad van Indie, C.
Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan
Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899.
Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar
memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van
Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik
Etis.
Dampak
Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman
komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya
ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu,
yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa
VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah
seperti lada,
pala,
dan cengkeh.
Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya
produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya
penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian,
dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian.
Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian
pertanian dilakukan secara serius.
Dalam bidang sosial
Dalam
bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya
perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan
terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam
pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini
malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena
penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya
keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
Dalam bidang ekonomi
Dengan
adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang
sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di
pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan
menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport,
sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah
kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport
bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat
lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah
yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh
pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya,
jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial,
dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se
tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut
surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan
melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai
kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
Sejak
VOC dibubarkan tahun 1799, daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya diambil alih
oleh pemerintah kerajaan Belanda. Kebijakan 'Culture Stelsel' dilaksanakan
untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia tanpa mau memperhatikan rakyat Indonesia
dibawah pimpinan Van Den Bosch. Secara teoritis, peraturan yang ditetapkan
dalam sistem tanam paksa tidak
memberatkan. Akan tetapi dalam prakteknya, banyak sekali penyimpangan yang
dilakukan dalam sistem ini. Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai
berikut:
8
Dalam
perjanjian, tanah yang digunakan untuk 'cultur stelsel' adalah seperlima sawah,
namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga dan
bahkan setengah dari sawah milik pribumi.
9
Tanah
petani yang dipilih hanya tanah yang subur, sedangkan rakyat hanya mendapat
tanah yang tidak subur.
10
Tanah
yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai
dengan perjanjian.
11
Kelebihan
hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk
dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
12
Waktu
untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi
waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam
setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
13
Penduduk
yang tidak memiliki tanah dipekerjakan di perkebunan Belanda, dengan waktu 3-6
bulan bahkan lebih.
14
Tanaman
pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri.
Kadang-kadang waktu untuk menanam, tanamannya sendiri itu tinggal sedikit
sehingga hasilnya kurang maksimal.
15
Kerusakan
tanaman tetap ditanggung petani.
A. PENYIMPANGAN SISTEM TANAM PAKSA
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
16
Rakyat
makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara
cuma-cuma kepada Belanda.
17
Sawah
dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan
mengakibatkan penghasilan menurun.
18
Beban
rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen,
membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen
gagal.
19
Akibat
bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
20
Bahaya
kelaparan dan wabah penyakit timbul di mana-mana sehingga angka kematian
meningkat drastis. Bahaya kelaparan yang menimbulkan korban jiwa terjadi di
daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah
mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah
penduduknya yang semula 336.000 jiwa turun sampai dengan 120.000 jiwa, di
Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa. Demikian pula yang terjadi
di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem) merajalela.
Gambar: Tanam
Paksa
Pelaksanaan sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui parlemen di Negeri Belanda.
B. TOKOH-TOKOH PENENTANG TANAM PAKSA
Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai berikut.
1. Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli
sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat
sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam
paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max
Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam
buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan
sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas
segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari
kaum liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang
mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.
2. Baron van Hoevell (1812–1870)
2. Baron van Hoevell (1812–1870)
Selama tinggal di Indonesia, Baron van
Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa.
Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa.
Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui
parlemen Belanda.
3. Fransen van der Putte (1822-1902)
3. Fransen van der Putte (1822-1902)
Fransen van der putte yang menulis
'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap kegiatan tanam paksa.
4. Golongan Pengusaha
Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan. Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
4. Golongan Pengusaha
Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan. Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
·
Pada
tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
·
Pada
tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
·
Pada
tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.
Karena banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berperikemanusiaan tidak hanya di negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal kolonial.
C. DAMPAK TANAM PAKSA
1. Bagi Belanda
1
Meningkatnya
hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
2
Perusahaan
pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam
paksa mendapatkan keuntungan.
3
Belanda
mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun
1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai
18 juta gulden.
4
Kas
belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
5
Penerimaan
pendapatan melebihi anggaran belanja.
6
Belanda
tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang
Indonesia.
7
Menjadikan
Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.
2. Bagi Indonesia
8
Kemiskinan
dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
9
Beban
pajak yang berat.
10
Pertanian,
khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
11
Kelaparan
dan kematian terjadi di mana-mana.
12
Pemaksaan
bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
13
Jumlah
penduduk Indonesia menurun.
14
Segi
positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
15
Rakyat
Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
16
Memperkenalkan
teknoligo multicrops dalam pertanian.
D. PENGARUH SISTEM TANAM PAKSA DI MASYARAKAT
1. Bidang Sosial
17
Dalam
bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya
perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan
terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam
pembagian tanah. (Sartono, 1987: 321).
18
Ikatan
antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat
perkembangan desa itu sendiri.Penduduk lebih senang tinggal di desanya,
mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan
kehidupan penduduknya.
19
Tanam
paksa secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam
hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan
partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
20
Peranan
bahasa melayu dan bahasa daerah dikalangan penguasa.
2. Bidang Ekonomi
21
Dengan
adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang
sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di
pabrik-pabrik gula.
22
Dalam
pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah
pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa
menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan
demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan
perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di
Indonesia di kemudian hari.(Burger, 1977: 18).
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial.
Dampak Positif &
Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Di Indonesia (1830-1870)
Dalam tahun 1830 pemerintah
Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru untuk Indonesia yaitu Johannes
Van Den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman
ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah. Dalam membebankan Van Den Bosch
denagn tugas yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia Belanda terutama terdorong oleh keadaan yang parah dari keuangan
negeri Belanda. Hal ini disebabkan budget pemerintah Belanda dibebani hutang – hutang yang besar. Oleh karena
masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri Belanda sendiri,
pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni- koloninya di Asia, salah
satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada pertimbangan- pertimbangan ini
merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van Den Bosch sendiri.
Sistem tanam paksa mewajibkan
para petani di Jawa untuk menanam tanaman – tanaman dagang untuk diekspor
ke pasaran dunia. Walaupun antara sisitem eksploitasi VOC dan sistem tanam
paksa terdapat persamanaan, khususnya dalam hal penyerahan wajib, namun
pengaruh sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh lebih dalam dan jauh lebih menggoncangkan daripada pengaruh
VOC selama kurang lebih 2 abad. Ciri utama dari sistem tanam paksa yang
diperkenalkan oleh Van Den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk
membayar pajak mereka dalam bentuk barang yaitu hasil pertanian mereka dan
bukan dalam bentuk uang seperti yang dilakukan selama sistem pajak tanah masih
berlaku. Van Den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan pajak in natura ini tanaman dagang bisa
dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli – pembeli dari Amerika dan
seluruh Eropa dengan keuntungan besar bagi pemerintah dan penguasa – penguasa Belanda.
Sistem tanam paksa pada hakikatnya
merupakan satu keping uang logam, disatu sisi tanam paksa merupakan penyebab penderitaan
rakyat pada selang waktu antara tahun 1830 hingga 1870, namun disisi lain tanam
paksa juga memiliki dampak positif beserta segala kebermanfataannya bagi
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka penyusun tertarik untuk melakukan
satu kajian terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa. Sehingga nantinya dapat
dijadikan sebagai satu khasanah pengetahuan baru mengenai kerugian dan
keuntungan pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia bagi masyarakat
Indonesia itu sendiri
A. Pelaksanaan
Sistem Tanam Paksa (1830-1870)
Pelaksanaan Sistem tanam paksa
tertuang dalam ketentuan-ketentuan pokok dalam Staatsblad(Lembaran Negara) tahun 1834, no 22 berbunyi sebagai
berikut:
21
Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat
dijual di pasaran Eropa.
22
Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan in
tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk
desa.
23
Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
24
Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan
dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
25
Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman
dagangan yang ditaksir melebihi pajak yang harus dibayar rakyat, maka selisih
positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
26
Panen tanaman dagangan yang gaagl harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau
ketekunan pihak rakyat.
27
Penduduk desa mengerjakan tanah – tanah meeka dibawah pengawasan
kepala –kepala
mereka, sedangkan pegawai – pegawai Eropa hanya membatasi diri pada
pengawasan apakah pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman – tanaman agar berjalan dengan
baik dan tepat waktu.
Menurut ketentuan-ketentuan
diatas memang tidak terlihat pemerintah Belanda menekan rakyat. Namun di dalam
prakteknya pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali menyimpang jauh dari
ketentuan-ketentuan di atas, sehingga rakyat banyak dirugikan (Kecuali mungkin
ketentuan nomor 4 dan 7). Dalam menjalankan tanam paksa pemerintah Belanda menggunakan
ikatan komunal dan ikatan desa untuk mengorganisir masyarakat. Van den bosch
menggunakan pengaruh para bupati sehingga kekuasaan para bupati menjadi luas
selain itu para bupati dan kepala desa mendapatkan cultuurprocentendisamping pendapatan yang didapat dari pemerintah, cultuurprocentenini presentase tertentu
dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman tanaman ekspor yang
diserahkan kepada pegawai Belanda, bupati dan kepala desa jika mereka berhasil
mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada setiap desa.
Cara-cara ini tentu saja menimbulkan banyak penyelewengan yang merugikan rakyat
karena pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa mempunyai keuntungan
sendiri dalam usaha untuk meningkatkan produksi tanaman dagang untuk ekspor.
Salah satu akibat yang sangat penting dari
tanam paksa adalah meluasnya bentuk tanah milik bersama (komunal). Hal ini
dikarenakan para pegawai pemerintah kolonial cenderuing memperlakukan desa
dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki
penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam
menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebankan pada setiap desa. Jika para
pegawai pemerintah Belanda misalnya harus mengadakan persetujuan yang terpisah
dengan setiap petani, memperoleh seperlima bidang tanah mereka, hal ini akan
mempersulit mereka. Maka akan jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang
harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan desa.
B. Dampak Negatif Pelaksanaan
Sistem Tanam Paksa
Sebagaimana
dijelaskan dimuka, sistem tanam paksa yang diterapkan itu pada dasarnya adalah
penghidupan kembali sistem eksploitasi dari jaman VOC yang berupa penyerahan
wajib. Dalam perumusannya, sistem tanam paksa merupakan merupakan penyatuan
antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Maka, ciri pokok sistem
tanam paksa terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk
barang, bukan dalam bentuk uang.
Dalam
prakteknya, pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai
dengan ketentuan yang tertulis. Dapat dikatakan bahwa antara peraturan dan
pelaksanaan sangat berbeda. Contohnya, penyediaan tanah untuk tanaman yang
diminta pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan, karena dilakukan dengan cara
paksaan, bukan dengan persetujuan sukarela.
Mengenai
penyelewangan peraturan ini, Fauzi (1999) berpendapat sebagaiman berikut:
“…..bagian tanah penduduk yang
diminta untuk ditanami tanaman wajib bukan 1/5 bagian, tapi lebih luas
kira-kira 1/3 atau 1/2 bagian, bahkan sering seluruh desa. Demikian pula
pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut jumlahnya.
Juga kegagalan panen dibebankan pada penduduk, yang sebenarmya harus menjadi
beban pemerintah.”
Secara garis besar sistem tanam
paksa ini telah menimbukan berbagai akibat pada kehidupan masyarakat pedesaan
di Pulau Jawa, yaitu menyangkut tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa
telah mencampuri sistem pemilikan tanah di pedesaan, karena para petani
diharuskan untuk menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Perubahan
ini telah menyebabkan pergeseran sistem penguasaan dan pemilikan tanah. sistem
tanam paksa juga membutuhkan tenaga kerja rakyat secara besar-besaran untuk
penggarapan lahan, penanaman, dan lain-lain. Kerja paksa ini sangat memberatkan
penduduk, selain karena tidak diberi upah, juga karena tugas pekerjaan yang
harus dikerjakan secara fisik cukup berat.
Adapun dampak negatif
pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia, secara garis besar dapat dijabarkan
sebagaimana berikut:
28
Meluasnya bentuk milik tanah bersama(komunal) tujuannya mempermudah
menetapakan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan. Hal ini berarti kepastian
hukum individu telah lepas.
29
Meluasnya kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah
Belanda sebagai alat organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan
salah satunya dari cultuurprocenten.
30
Tanah tanah pertanian yang harus
dijadikan untuk tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah
pertanian di desa.
31
Disintegrasi struktur sosial masyarakat desa.
C. Dampak Positif
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa
di Indonesia (1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu menghapuskan
utang-utang internasionalnya bahkan
menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia untuk komoditi tropis
(Fauzi, 1999:31). Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui betapa
pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ini telah memberikan keuntungan
yang melimpah bagi negeri Belanda, namun tidak halnya bagi masyarakat
Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah menimbulkan
berbagai akibat pada masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan hak
kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem
tanam paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi
masyarakat di pedesaan.
Dalam tanam paksa, jenis
tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanam adalah kopi, tebu, dan indigo.
Dengan diperkenalkannya tanaman-tanamn ekspor ini maka masyarakat dapat
mengetahui tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi di pasaran internasional.
Dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang tanaman ekspor,
maka tentunya etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan.
Sistem tanam paksa dapat
diibaratkan sebagai 1 keping uang logam, disatu sisi pelaksanannya telah
memunculkan satu kerugian bagi masyarakat pedesaan Indonesia, namun disisi lain
sistem tanam paksa juga memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia.
Dampak positif dari sistem tanam paksa itu sendiri dapat dijabarkan sebagaimana
berikut:
32
Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual
untuk diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti
kopi, nila, lada, tebu.
33
Diperkenalkannya mata uang secara besar – besaran samapai lapisan
terbawah masyarakat Jawa.
34
Perluasan jaringan jalan raya. Meskipuntujuannya bukan untuk menaikan
taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda
sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan
memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan uang.
35
Berkembangnya industialisasi di pedesaan
Ternyata dalam
praktiknya menyimpang. Hal ini membawa akibat yang sangat berat bagi rakyak
indonesia. Seperti ; 1. Akibat tanah terbengkalai, panen gagal. 2. Kemiskinan,
3. Kemelaratan, 4. Wabah penyakit, 5. Kematian. daerah yang paling banyak yang
mengalami penderitaan ini adalah demak, purwodadi, dan priangan. Sedangkan bagi
belanda mendatangkan ke untungan yang melimpah. Berjuta-juta golden uang
mengalir ke negeri belanda sehingga dapat digunakan untuk; 1. Mengisi
kekosongan kas negara, 2. Melunasi hutang, 3. Membuat jalan kereta api dan
pelabuhan, dan 4. Membangun pusat perindustrian. kerja paksa sering disebut
kerje sodi.
Timbulnya Sistem Tanam Paksa
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar. Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut.
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenisjenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.
Ø Aturan-Aturan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1) Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2) Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3) Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4) Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
5) Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6) Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7) Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepalakepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
Ø Pelaksanaan Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.
1) Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
2) Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
3) Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
4) Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
5) Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
6) Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata
tidak dikembalikan.
Ø Akibat Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.
1. Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a. Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b. Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
c. Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
d. Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e. Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.
2. Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a. Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b. Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d. Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e. Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f. Perdagangan berkembang pesat.
Ø Akhir Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2) Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3) Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda. Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Kegagalan van der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga menyebabkan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Gubernur Jenderal van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia. Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam. Namun di Indonesia cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa. Ini cukup beralasan diartikan seperti itu karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau. Cultuurstelsel diberlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar dapat diatasi. Berikut ini pokok-pokok cultuurstelsel.
Pokok-Pokok Sistem Tanam Paksa:
1. Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.
2. Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.
3. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
4. Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
5. Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik pemerintah.
6. Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.
7. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa). (Sumber: Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1.500 – 1.900, 1999)
Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Untuk mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para bupati sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda.
Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.
Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.
1. Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
2. Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.
3. Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
4. Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
5. Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.
Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.
Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan mengakibatkan kematian penduduk meningkat.
Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil. Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.
(Fransen van de Putte yang menerbitkan Suiker Contracten)
Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).
Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).
Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat, yaitu:
1. terbukanya lapangan pekerjaan,
2. rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan rakyat mengenal cara menanam yang baik.
Tanam Paksa pada masa Hindia Belanda
Ada sebuah kenyataan yang menyedihkan di negeri kita. Kita menyatakan bahwa kita telah bebas dari penjajahan, namun ternyata banyak kondisi yang ada di masa penjajahan masih harus kita rasakan hari ini setelah kemerdekaan itu kita raih. Padahal bukankah sudah seharusnya kondisi ketika merdeka itu berbeda dengan kondisi ketika dijajah?
Hindia-Belanda adalah sebuah negara koloni Kerajaan Belanda yang wilayahnya terletak di wilayah yang kita sebut Indonesia sekarang ini. Pusat pemerintahan Hindia-Belanda terletak di Batavia (sekarang Jakarta). Kepala pemerintahan tertinggi di Hindia-Belanda adalah seorang Gubernur Jenderal. Jelas sekali, bahwa hadirnya pemerintah Hindia-Belanda di negeri ini tidak pernah bertujuan untuk mensejahterakan inlander (pribumi). Kehadiran mereka murni hanya untuk mengeruk apapun barang berharga yang mereka temukan di negeri ini, kemudian mereka alirkan hanya untuk kepentingan dan keuntungan diri mereka sendiri.
Pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch menetapkan sebuah kebijakan bernama Cultuurstelsel, belakangan mekanisme ini dikenal sebagai Tanam Paksa. Sistem ini mewajibkan siapapun yang memiliki tanah untuk menyisihkan 20% tanahnya guna ditanami komoditas ekspor yang amat dibutuhkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, seperti kopi, tebu, dan nila. Hasil panen kemudian dijual kepada pemerintan Hindia-Belanda dengan harga yang ‘sudah ditentukan’ (ngerti kan kenapa saya kasih tanda kutip di situ?). Lebih dari itu, penduduk desa yang tidak punya tanah harus bekerja di lahan-lahan pemerintah sebanyak 75 hari dalam setahun. Aturan tinggal aturan, praktinya ternyata lebih parah dari itu. Lahan penduduk yang dirampas oleh pemerintah ternyata bukan cuma 20% tapi seluruhnya, hasil panennya pun diserahkan tanpa kompensasi. Rakyat yang tidak punya tanah pun wajib bekerja bukan 75 hari, tapi 365 hari.
Karena kebijakan keji ini telah berhasil memakmurkan negeri Belanda, van den Bosch dianugerahi gelar Graaf pada tahun 1839. Baru pada tahun 1870 kebijakan ini dihentikan karena orang-orang Belanda sendiri memandangnya sebagai sebuah kebijakan yang keji (yaiyalah keji!!!).
Kondisi tanam paksa di atas mirip sekali dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Pada jaman Hindia-Belanda rakyat tidak bisa menikmati sumber daya alam yang sesungguhnya menjadi milik mereka, hal yang sama terjadi pada jaman Indonesia. Berbagai ladang minyak dan barang tambang yang ada di negeri ini tidak bisa dinikmati rakyat karena sudah terlanjur dikuasai oleh korporat-korporat asing dengan legalisasi dari undang-undang pemerintah Indonesia. Korporat-korporat asing seperti Freeport, Newmont, Exxon, Chevron, dll. itulah yang menguasai dan mengeruk sumber daya alam kita, sementara kita sendiri hanya mendapatkan ampasnya. Lihatlah betapa ganasnya limbah tailing yang dihasilkan dari aktivitas penambangan Freeport di Papua. Yang jadi korban adalah rakyat.
Kedua kondisi ini mirip, yang membedakannya hanya satu: pada jaman Hindia-Belanda, orang-orang asing penjajah itulah yang langsung memerintah kita, sementara pada jaman Indonesia, yang memerintah adalah anak-anak negeri kita sendiri, tapi mereka berpihak kepada orang-orang asing penjajah. Di saat yang sama pemerintahan kita itu menipu kita dengan slogan-slogannya
Tanam Paksa di Indonesia
Cultuurstelsel (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Sistem tanam paksa ini dilakukan untuk mengatasi keadaan keuangan negara yang memburuk akibat perang Diponegoro dan pemasukan pajak tanah yang tidak mencukupi. Ditentang oleh Flout dan Dewan Pertimbangan Agung Hindia Belanda (Bel.: Road van Jndie) tetapi disetujui raja Belanda Willem I. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Tanam Paksa ini mulai dilaksanakan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada tahun 1830, dan hal ini merupakan manifestasi dari"forced specialization" yang didasarkan pada analisis manfaat komparatif Ricardo oleh pihak penjajah. Spesialisasi tanam paksa ini dijalankan dengan cara pembiayaan brutal dalam bentuk kerja paksa atau mobilisasi paksa dan ini merupakan komersialisasi kolonial di sektor pertanian. Proses ini mengakibatkan surplus ekonomi yang praktis tanpa modal pokok yang berarti, karena modal pokok dalam investasi tanam paksa ini adalah tenaga kerja petani kita di Pulau Jawa (Frank, 1981) Tenaga kerja yang diperas dengan pendapatan riil yang kecil menempatkan para petani menjadi tenaga kerja yang optimal bagi Belanda yang mana akhirnya proyek ini menciptakan strata sosial di dalam masyarakat dan menempatkan petani pada strata sosial bawah yang tidak sanggup memperbaiki dirinya sendiri apalagi untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Egbert de Vries (1931) atas kajiannya mengenai kasus kegiatan pertanian di Pasuruan yang menjadi contoh kehidupan petani pada waktu itu. Pada tahun 1926 Vries menggambarkan bahwa sebanyak 62,5% dari penduduk pedesaan Jawa tergolong sebagai lapisan miskin desa atau proletariat desa. Kelompok proletariat desa ini kemudian dalam sejarah investasi kolonial berikutnya, yaitu pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatra Timur setelah cultuurstelsel berakhir, menjadi sumber buruh murah bagi perkebunan-perkebunan besar ini.
Pengiriman penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera mirip dengan pengiriman budak oleh kekuasaan kolonial Inggris ke West Indies untuk dipaksa bekerja di perkebunan-perkebunan gula disana. Surplus ekspor (sesudah dikurangi impor) sebagai hasil cultuurstelsel tercatat berjumlah 781 juta Gulden dalam periode 1840-1875 dan melonjak luar biasa ketika terjadi pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera, yaitu menjadi 3,3 milyar gulden dalam periode 1915-1920 (Hatta, 1972), namun demikian tanam paksa ini tidak memberikan kemakmuran bagi negara jajahannya.
Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda. Namun demikian usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Tetapi tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa.
Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut. Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar. Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut.
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenisjenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.
Ø Aturan-Aturan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1) Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2) Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3) Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4) Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
5) Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6) Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7) Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepalakepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
Ø Pelaksanaan Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.
1) Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
2) Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
3) Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
4) Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
5) Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
6) Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata
tidak dikembalikan.
Ø Akibat Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.
1. Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a. Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b. Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
c. Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
d. Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e. Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.
2. Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a. Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b. Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d. Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e. Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f. Perdagangan berkembang pesat.
Ø Akhir Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2) Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3) Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda. Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Kegagalan van der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga menyebabkan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Gubernur Jenderal van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia. Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam. Namun di Indonesia cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa. Ini cukup beralasan diartikan seperti itu karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau. Cultuurstelsel diberlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar dapat diatasi. Berikut ini pokok-pokok cultuurstelsel.
Pokok-Pokok Sistem Tanam Paksa:
1. Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.
2. Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.
3. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
4. Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
5. Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik pemerintah.
6. Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.
7. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa). (Sumber: Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1.500 – 1.900, 1999)
Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Untuk mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para bupati sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda.
Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.
Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.
1. Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
2. Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.
3. Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
4. Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
5. Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.
Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.
Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan mengakibatkan kematian penduduk meningkat.
Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil. Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.
(Fransen van de Putte yang menerbitkan Suiker Contracten)
Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).
Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).
Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat, yaitu:
1. terbukanya lapangan pekerjaan,
2. rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan rakyat mengenal cara menanam yang baik.
Tanam Paksa pada masa Hindia Belanda
Ada sebuah kenyataan yang menyedihkan di negeri kita. Kita menyatakan bahwa kita telah bebas dari penjajahan, namun ternyata banyak kondisi yang ada di masa penjajahan masih harus kita rasakan hari ini setelah kemerdekaan itu kita raih. Padahal bukankah sudah seharusnya kondisi ketika merdeka itu berbeda dengan kondisi ketika dijajah?
Hindia-Belanda adalah sebuah negara koloni Kerajaan Belanda yang wilayahnya terletak di wilayah yang kita sebut Indonesia sekarang ini. Pusat pemerintahan Hindia-Belanda terletak di Batavia (sekarang Jakarta). Kepala pemerintahan tertinggi di Hindia-Belanda adalah seorang Gubernur Jenderal. Jelas sekali, bahwa hadirnya pemerintah Hindia-Belanda di negeri ini tidak pernah bertujuan untuk mensejahterakan inlander (pribumi). Kehadiran mereka murni hanya untuk mengeruk apapun barang berharga yang mereka temukan di negeri ini, kemudian mereka alirkan hanya untuk kepentingan dan keuntungan diri mereka sendiri.
Pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch menetapkan sebuah kebijakan bernama Cultuurstelsel, belakangan mekanisme ini dikenal sebagai Tanam Paksa. Sistem ini mewajibkan siapapun yang memiliki tanah untuk menyisihkan 20% tanahnya guna ditanami komoditas ekspor yang amat dibutuhkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, seperti kopi, tebu, dan nila. Hasil panen kemudian dijual kepada pemerintan Hindia-Belanda dengan harga yang ‘sudah ditentukan’ (ngerti kan kenapa saya kasih tanda kutip di situ?). Lebih dari itu, penduduk desa yang tidak punya tanah harus bekerja di lahan-lahan pemerintah sebanyak 75 hari dalam setahun. Aturan tinggal aturan, praktinya ternyata lebih parah dari itu. Lahan penduduk yang dirampas oleh pemerintah ternyata bukan cuma 20% tapi seluruhnya, hasil panennya pun diserahkan tanpa kompensasi. Rakyat yang tidak punya tanah pun wajib bekerja bukan 75 hari, tapi 365 hari.
Karena kebijakan keji ini telah berhasil memakmurkan negeri Belanda, van den Bosch dianugerahi gelar Graaf pada tahun 1839. Baru pada tahun 1870 kebijakan ini dihentikan karena orang-orang Belanda sendiri memandangnya sebagai sebuah kebijakan yang keji (yaiyalah keji!!!).
Kondisi tanam paksa di atas mirip sekali dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Pada jaman Hindia-Belanda rakyat tidak bisa menikmati sumber daya alam yang sesungguhnya menjadi milik mereka, hal yang sama terjadi pada jaman Indonesia. Berbagai ladang minyak dan barang tambang yang ada di negeri ini tidak bisa dinikmati rakyat karena sudah terlanjur dikuasai oleh korporat-korporat asing dengan legalisasi dari undang-undang pemerintah Indonesia. Korporat-korporat asing seperti Freeport, Newmont, Exxon, Chevron, dll. itulah yang menguasai dan mengeruk sumber daya alam kita, sementara kita sendiri hanya mendapatkan ampasnya. Lihatlah betapa ganasnya limbah tailing yang dihasilkan dari aktivitas penambangan Freeport di Papua. Yang jadi korban adalah rakyat.
Kedua kondisi ini mirip, yang membedakannya hanya satu: pada jaman Hindia-Belanda, orang-orang asing penjajah itulah yang langsung memerintah kita, sementara pada jaman Indonesia, yang memerintah adalah anak-anak negeri kita sendiri, tapi mereka berpihak kepada orang-orang asing penjajah. Di saat yang sama pemerintahan kita itu menipu kita dengan slogan-slogannya
Tanam Paksa di Indonesia
Cultuurstelsel (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Sistem tanam paksa ini dilakukan untuk mengatasi keadaan keuangan negara yang memburuk akibat perang Diponegoro dan pemasukan pajak tanah yang tidak mencukupi. Ditentang oleh Flout dan Dewan Pertimbangan Agung Hindia Belanda (Bel.: Road van Jndie) tetapi disetujui raja Belanda Willem I. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Tanam Paksa ini mulai dilaksanakan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada tahun 1830, dan hal ini merupakan manifestasi dari"forced specialization" yang didasarkan pada analisis manfaat komparatif Ricardo oleh pihak penjajah. Spesialisasi tanam paksa ini dijalankan dengan cara pembiayaan brutal dalam bentuk kerja paksa atau mobilisasi paksa dan ini merupakan komersialisasi kolonial di sektor pertanian. Proses ini mengakibatkan surplus ekonomi yang praktis tanpa modal pokok yang berarti, karena modal pokok dalam investasi tanam paksa ini adalah tenaga kerja petani kita di Pulau Jawa (Frank, 1981) Tenaga kerja yang diperas dengan pendapatan riil yang kecil menempatkan para petani menjadi tenaga kerja yang optimal bagi Belanda yang mana akhirnya proyek ini menciptakan strata sosial di dalam masyarakat dan menempatkan petani pada strata sosial bawah yang tidak sanggup memperbaiki dirinya sendiri apalagi untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Egbert de Vries (1931) atas kajiannya mengenai kasus kegiatan pertanian di Pasuruan yang menjadi contoh kehidupan petani pada waktu itu. Pada tahun 1926 Vries menggambarkan bahwa sebanyak 62,5% dari penduduk pedesaan Jawa tergolong sebagai lapisan miskin desa atau proletariat desa. Kelompok proletariat desa ini kemudian dalam sejarah investasi kolonial berikutnya, yaitu pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatra Timur setelah cultuurstelsel berakhir, menjadi sumber buruh murah bagi perkebunan-perkebunan besar ini.
Pengiriman penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera mirip dengan pengiriman budak oleh kekuasaan kolonial Inggris ke West Indies untuk dipaksa bekerja di perkebunan-perkebunan gula disana. Surplus ekspor (sesudah dikurangi impor) sebagai hasil cultuurstelsel tercatat berjumlah 781 juta Gulden dalam periode 1840-1875 dan melonjak luar biasa ketika terjadi pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera, yaitu menjadi 3,3 milyar gulden dalam periode 1915-1920 (Hatta, 1972), namun demikian tanam paksa ini tidak memberikan kemakmuran bagi negara jajahannya.
Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda. Namun demikian usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Tetapi tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa.
Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut. Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
SISTEM TANAM PAKSA DI INDONESIA
Posted
on November 9, 2011 by dinastiz
SISTEM
TANAM PAKSA
Pelaksanaan
tanam paksa di Jawa berlangsung lebih kurang selama 40 tahun dan memberikan
hasil yang baik bagi pemerintah kolonial sehingga dapat membangun di segala
bidang. Sedangkan bagi penduduk di Jawa khususnya, memberikan pula dampak dalam
bidang sosial maupun ekonomi, antara lain:
Dampak Sosial
36
Dalam
bidang pertanian, khususnya dalam
struktur agraris tidak
mengakibatkan adanya perbedaan antara
majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang
berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
37
Ikatan
antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat
perkembangan desa itu sendiri. Mengapa terjadi hal demikian? Karena penduduk
lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan
kurangnya wawasan untuk perkembangan
kehidupan penduduknya.
Dampak ekonomi:
38
Dengan
adanya tanam paksa tersebut menyebabkan
pekerja mengenal sistem upah yang
sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotongroyong terutama
tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
39
Dalam
pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah
pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa
menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan
demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan
perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di
Indonesia di kemudian hari.
Akibat
lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu
kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan
bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial
berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk,
rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng
untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan
memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat,
barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan
berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan
kepala-kepala desa itu sendiri.
Dampak
lain dari tanam paksa tersebut yaitu secara tidak sengaja juga membantu
kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka
jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
Untuk
itu pemerintahan kerajaan belanda mengangkat Van den bosch sebagai gubernur
Jenderal di Indonesia, dengan tugas pokok mengusahakan semaksimal mungkin untuk
diperas untuk Negara kosong dan mengisi kas Negara yaitu dengan system tanam
paksa ( Cultuur stelsel ). Inti dari
tanam paksa adalah rakyat harus membayar harus membayar pajak dengan hasil
tanaman ekspor seperti : tebu, kopi, tembakau, nila dan sebgainya.
Peraturan
tanam paksa :
40
Penduduk
desa wajib menanam tanaman yang laku di pasaran eropa dan 1/5 bagian tanah /
lebih.
41
Tanah
yang digunakan itu dibebaskan dari pajak.
42
Wajib
tanam paksa dapat diganti dengan penyerahan tenaga menanam tanaman paksa tidak
memiliki sawah.
43
Tenaga
danaktu yang dipergunakan untuk menanam tanaman paksa tidak boleh melebihi tenaga dan waktu untuk mengerjakan tanaman
padi/tanahnya sendiri.
44
Hasil
tanaman harus diserahkan kepada pemerintah belanda dan jika harga yang ditaksir
melebihi pajak,maka kelebihan itu akan dikembalikan kepada rakyat.
45
Kegagalan
panen ditanggung pemerintah, jika bukan karena kesalahan rakyat atau disebabkan
kurang rajin dalam mengerjakannya.
46
Penggarapan
tanah di bawah pengawasan langsung penguasa pribumi.
Pelaksanaan
system tanam paksa ini sangat besar artinya bagu belanda karena dapat
mengbalikan kejayaan dan menutup kas yang kosong. Namu bagi Indonesia justru
menjadikan rakyat ,menderita akhirnya membawa kematian.(daerah yang paling
menderita Demak, Grobogan, Cirebon). Pelaksanaan tanam paksa menimbulkan reaksi
baik dari orang belanda sendiri maupun dari rakyat kecil yang langsung
mengalaminya.
Reaksi
kaum kapitalis humanis belanda :
Dua
orang belanda yang menentang tanam paksa adalah Edward Douwes Dekker dan Baron
Van Hoevel. Mereka menantanag berdasarkan
pada prinsip etika dan perikemanusiaan. Douwes Dekker dengan nama
samarannya Murtatuli menulis buku yang berjudul Mac Havelaar yang isinya protes
keras agar tanam paksa dihapus dan sebagai penggantinya dilaksanakan olitik
etis.
Dampak
Tanam Paksa bagi Belanda:
a. Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi
b. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja
c. Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
d. Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.
Dampak tanam paksa bagi Indonesia
a. Menyebabkan tekanan fisik maupun mental yang berkepanjangan bagi rakyat Indonesia
b. Jumlah penduduk di Pulau jawa menurun drastic dikarenakan banyaknya kelaparan dan kematian karena system tanam paksa ini
c. Pertanian terutama hasil padi mengalami banyak kegagalan.
Akhirsistemtanampaksa
Dikarenakan banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berprikemanusiaan tidak hanya di Negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal colonial.
Dampak positif bagi Indonesia :
a. Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi
b. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja
c. Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
d. Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.
Dampak tanam paksa bagi Indonesia
a. Menyebabkan tekanan fisik maupun mental yang berkepanjangan bagi rakyat Indonesia
b. Jumlah penduduk di Pulau jawa menurun drastic dikarenakan banyaknya kelaparan dan kematian karena system tanam paksa ini
c. Pertanian terutama hasil padi mengalami banyak kegagalan.
Akhirsistemtanampaksa
Dikarenakan banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berprikemanusiaan tidak hanya di Negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal colonial.
Dampak positif bagi Indonesia :
ü membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan
partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri
·
Misalnya harga yang di taksir melebihi pajak
maka akan di kembalikan kepada rakyat Indonesia
ü Dengan demikian hasil produksi tanaman
eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
·
tidak
mengakibatkan adanya perbedaan antara
majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip
pada pemerataan dalam pembagian tanah.
Dampak
negative bagi Indonesia :
Penduduk
harus memberikan semua hasil pribuminya sebagian untuk diberikan kepada
pemerintah belanda
Sangat
merugikan bagi rakyat Indonesia,karena banyak sekali penduduk yang kekurangan
pangan untuk kehidupan sehari hari
Dengan
adanya sistem tanam paksa meresahkan sekali bagi rakyat Indonesia,karena warga
Indonesia menjadi miskin kekayaan alamnya dan orang-orangnya menjadi budak
orang belanda dan tanpa dijatahi upah untuk hasil kerja kepada belanda,tetapi
tidak diberi
·
Negara Indonesia diperas oleh
pemerintahan belanda,supaya menutupi kekosongan di bagian yang belum lengkap
dalam hasil kekayaan alam dan hutang.
ujuan serta Akibat Belanda
Melakukan Sistem Tanam Paksa (Kelas XI ; BAB II ; Tujuan Pembelajaran 3 dan 4)
Dalam
tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru untuk
Indonesia yaitu Johannes Van Den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk
meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah.
Oleh karena masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri
Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni- koloninya
di Asia, salah satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada pertimbangan-
pertimbangan ini merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh
Van Den Bosch sendiri.
Sistem
tanam paksa pada hakikatnya merupakan satu keping uang logam, disatu sisi tanam
paksa merupakan penyebab penderitaan rakyat pada selang waktu antara tahun 1830
hingga 1870, namun disisi lain tanam paksa juga memiliki dampak positif beserta
segala kebermanfataannya bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka
penyusun tertarik untuk melakukan
satu kajian terhadap pelaksanaan sistem
tanam paksa. Sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai satu khasanah
pengetahuan baru mengenai kerugian dan keuntungan pelaksanaan sistem tanam
paksa di Indonesia bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.
A. Pelaksanaan
Sistem Tanam Paksa (1830-1870)
Pelaksanaan Sistem tanam paksa
tertuang dalam ketentuan-ketentuan pokok dalam Staatsblad(Lembaran Negara) tahun 1834, no 22 berbunyi sebagai
berikut:
47
Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat
dijual di pasaran Eropa.
48
Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan in
tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
49
Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
50
Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan
dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
51
Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman
dagangan yang ditaksir melebihi pajak yang harus dibayar rakyat, maka selisih
positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
52
Panen tanaman dagangan yang gaagl harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau
ketekunan pihak rakyat.
53
Penduduk desa mengerjakan tanah – tanah meeka dibawah pengawasan
kepala –kepala
mereka, sedangkan pegawai – pegawai Eropa hanya membatasi diri pada
pengawasan apakah pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman – tanaman agar berjalan dengan
baik dan tepat waktu.
Menurut
ketentuan-ketentuan diatas memang tidak terlihat pemerintah Belanda menekan
rakyat. Namun di dalam prakteknya pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali
menyimpang jauh dari ketentuan-ketentuan di atas, sehingga rakyat banyak
dirugikan (Kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan 7).
Salah satu akibat yang sangat penting dari
tanam paksa adalah meluasnya bentuk tanah milik bersama (komunal). Hal ini
dikarenakan para pegawai pemerintah kolonial cenderuing memperlakukan desa
dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki
penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam
menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebankan pada setiap desa.
B. Dampak Negatif
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Sebagaimana
dijelaskan dimuka, sistem tanam paksa yang diterapkan itu pada dasarnya adalah
penghidupan kembali sistem eksploitasi dari jaman VOC yang berupa penyerahan
wajib. Dalam perumusannya, sistem tanam paksa merupakan merupakan penyatuan
antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Maka, ciri pokok sistem
tanam paksa terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk
barang, bukan dalam bentuk uang.
Dalam
prakteknya, pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai
dengan ketentuan yang tertulis. Dapat dikatakan bahwa antara peraturan dan
pelaksanaan sangat berbeda. Contohnya, penyediaan tanah untuk tanaman yang
diminta pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan, karena dilakukan dengan cara
paksaan, bukan dengan persetujuan sukarela.
Mengenai
penyelewangan peraturan ini, Fauzi (1999) berpendapat sebagaiman berikut:
“…..bagian tanah penduduk yang
diminta untuk ditanami tanaman wajib bukan 1/5 bagian, tapi lebih luas
kira-kira 1/3 atau 1/2 bagian, bahkan sering seluruh desa. Demikian pula
pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut jumlahnya.
Juga kegagalan panen dibebankan pada penduduk, yang sebenarmya harus menjadi
beban pemerintah.”
Adapun
dampak negatif pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia, secara garis besar
dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
54
Meluasnya bentuk milik tanah bersama(komunal) tujuannya mempermudah
menetapakan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu
keseluruhan. Hal ini berarti kepastian hukum individu telah lepas.
55
Meluasnya kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah
Belanda sebagai alat organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan
salah satunya dari cultuurprocenten.
56
Tanah tanah pertanian yang harus
dijadikan untuk tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah pertanian
di desa.
57
Disintegrasi struktur sosial masyarakat desa.
C. Dampak Positif
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan
sistem tanam paksa di Indonesia (1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu
menghapuskan utang-utang internasionalnya bahkan menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia
untuk komoditi tropis (Fauzi, 1999:31). Meskipun demikian, pelaksaan sistem
tanam paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi
masyarakat di pedesaan.
Sistem
tanam paksa dapat diibaratkan sebagai 1 keping uang logam, disatu sisi
pelaksanannya telah memunculkan satu kerugian bagi masyarakat pedesaan
Indonesia, namun disisi lain sistem tanam paksa juga memberikan dampak positif
bagi masyarakat Indonesia. Dampak positif dari sistem tanam paksa itu sendiri
dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
58
Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual
untuk diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti
kopi, nila, lada, tebu.
59
Diperkenalkannya mata uang secara besar – besaran samapai lapisan
terbawah masyarakat Jawa.
60
Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia
melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini
mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan
penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang.
61
Berkembangnya industialisasi di pedesaan
Sistem Tanam Paksa
(Cultuurstelsel) 1830–1870
a. Latar Belakang Timbulnya Sistem Tanam
Paksa
Sejak
awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk
membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia)
maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda
harus menanggung hutang yang sangat besar.
Untuk
menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den
Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok
menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar
hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu,
Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman
ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat
jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di
pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch
menyusun program sebagai berikut.
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenisjenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.
b. Aturan-Aturan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1) Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2) Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3) Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4) Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
5) Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6) Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7) Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepalakepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
c. Pelaksanaan Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.
1) Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
2) Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
3) Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
4) Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
5) Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
6) Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata
tidak dikembalikan.
d. Akibat Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.
1) Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a) Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b) Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
c) Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
d) Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e) Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.
2) Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a) Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b) Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c) Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d) Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e) Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f) Perdagangan berkembang pesat.
e. Akhir Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2) Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3) Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenisjenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.
b. Aturan-Aturan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1) Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2) Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3) Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4) Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
5) Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6) Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7) Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepalakepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
c. Pelaksanaan Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.
1) Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
2) Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
3) Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
4) Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
5) Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
6) Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata
tidak dikembalikan.
d. Akibat Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.
1) Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a) Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b) Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
c) Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
d) Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e) Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.
2) Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a) Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b) Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c) Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d) Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e) Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f) Perdagangan berkembang pesat.
e. Akhir Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2) Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3) Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
Dampak Aturan Tanam Paksa
a.
Dampak Aturan Tanam Paksa Bagi Pemerintah Belanda
62
Pemerintah
Belanda dapat mengatasi kesulitan keuangan.
63
Pemerintah
Belanda dapat melunasi utangnya.
64
Keuangan
Belanda mengalami surplus
(kelebihan).
65
Perusahaan
Nederlandsche Handel Maatschappij
(NHM) mendapatkan keuntungan yang berlimpah.
b.
Dampak Aturan Tanam Paksa Bagi Rakyat Indonesia
Sisi Positif:
66
Petani
mengalami jenis tanaman baru dari luar negeri.
67
Petani
mengetahui daerah-daerah yang sesuai untuk jenis tanaman tertentu.
68
Petani
mengetahui cara mengelola tanah dan memelihara tanaman ekspor.
69
Pasar
internasional mengetahui hasil tanaman perdagangan Indonesia.
Sisi
Negatif:
70
Lahan
pertanian rakyat menjadi terbengkalai karena tidak terurus.
71
Gagal
panen pertanian rakyat sehingga petani mengalami kerugian besar.
72
Timbul
kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit, dan kematian.
Reaksi
Terhadap Pelaksanaan Aturan Tanam Paksa
Di Belanda, antara tahun 1850 – 1860,
terjadi perdebatan antara kelompok yang setuju dengan kelompok yang menentang
pelaksanaan aturan tanam paksa. Kelompok yang menyetujui pelaksanaan tanam
paksa terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah dan pemegang saham perusahaan Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM)
yang mendapat hak monopoli perdagangan. NHM sendiri merupakan perusahaan dagang
Belanda yang didirikan di Belanda pada tahun 1824. NHM menjadi agen tunggal
penyalur hasil perkebunan di Hindia Belanda (Indonesia) sejak tahun 1826.
Adapun pihak yang menentang pelaksanaan
tanam paksa terdiri atas kelompok dari kalangan agama dan rohaniawan, serta
golongan menengah yang meliputi pengusaha dan pedagang swasta yang iba atas
penderitaan rakyat Indonesia.
Di sisi lain, golongan menengah
menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai pelindung, penyedia sarana dan
prasarana, serta sebagai pengatur pelaksanaan hukum, keamanan, dan ketertiban.
Pada tahun 1870, perekonomian Hindia
Belanda (Indonesia) mulai memasuki zaman liberal hingga tahun 1900. Kaum
liberal atau kaum kapitalis berpendapat bahwa perkembangan ekonomi yang pesat
(hasil kerja dari pihak-pihak swasta) akan meningkatkan kesejahteraan,
sedangkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian rakyat yang terus-menerus
justru akan berdampak buruk untuk perekonomian dan kemakmuran rakyat.
Pengaruh Kebijakan Kolonial
Terhadap Terbentuknya Kesadaran Nasional Indonesia
Pelaksanaan politik etisdi Indonesia yang
dilatorbelakangi oleh munculnya kaum humanisme pada dasarnya merupakan program
balas budi dari pihak Belanda atas pengorbanan bangsa Indonesia yang telah
dirampas kekayaannya oleh Belanda. Dengan adanya politik etis, rakyat Indonesia
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Program tersebut telah
melahirkan benih-benih kaum terpelajar yang kelak akan memelopori pergerakan kebangsaan
Indonesia. Dari sinilah muncul kesadaran rakyat Indonesia, bahwa untuk mengusir
penjajahan, mereka harus menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Penderitaan
Rakyat Indonesia akibat berbagai kebijakan yang diterapkan dalam sistem
kolonialisme yang berupa monopoli perdagangan, tanam paksa, dan kerja paksa
sudah tidak dapat ditolelir lagi.
Sumber
kekayaan alam Indonesia terus dieksploitasi untuk mengisi kas keuangan Belanda.
Rakyat Indonesia depekerjakan tanpa upah atau diperlakukan secara tidak layak.
Kenyataan tersebut sungguh ironis, rakyat Indonesia yang bekerja keras,
sedangkan Belanda yang menikmatinya.
Penderiaan
yang dialami bangsa Indonesia telah menimbulkan reaksi, baik dari pihak bangsa
Indonesia sendiri maupun dari pihak Belanda, terutama orang orang Belanda yang
menaruh simpati terhadap penderitaan bangsa Indonesia, yaitu yang disebut
dengan golongan liberalisdan humanis.Mereka menentang sistem tanam paksa yang berlaku pada saat itu.
Sistem tanam paksa merupakan sistem yang menindas, mengeksploitasi dan
memperlakukan rakyat Indonesia secara tidak adil.
Salah
stu tokoh yang memperjuangkan agar sistem tanam paksa dihapuskan adalah Baron
van Hoevel. Ia adalah seorang anggota perlemen Belanda. Pada tahun 1848, kamu
liberal berhasil mendapat suara mayoritas dalam parlemen, mendesak agar
dibentuk undang undang baru. Dengan undang undang tersebut, parlemen berhak
mengendalikan semua kegiatan pemerintahan di Negara jajahan, termasuk terhadap
pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia.
Selain
melalui parlemen, perlawanan menentang sistem tanam paksa juga dilakukan
melalui tulisan tulisan berupa buku dan pamphlet, yang menceritakan penderitaan
rakyat Indonesia akibat diterapkannya sistem tanam paksa, seperti Edward Douwes
Dekker (Multatuli)yang menuliskan
buku dengan judul Max Havelaar. Dalam
bukunya, ia menceritakan penderitaan bangsa Indonesia. Akibatnya, timbul
semangat anti pemerintahan Belanda dalam hati rakyat Indonesia.
Akhirnya,
sistem tanam paksa mulai dihapuskan. Kepala dan pegawai pemerintahan tidak
diizinkan untuk menerima kondisi dari hasil hasil yang ditetapkan. Mereka
melakukan pengontrolan dan supervisi. Kerja paksa yang dilakukan di tengah
tengah hutan rimba dihapuskan. Tanaman wajib yang harus diserahkan oleh bangsa
Indonesia kepada pemerintah dibatasi. Selain itu, para pekerja dan pemberi jasa
harus mendapatkan upah.
Setelah
sistem tanam paksa dihapuskan, Belanda menggantikannya dengan sistem ekonomi liberal yang mulai
dilaknsanakan tahun 1870. Melalui sistem ekonomi liberal ini, diharapkan rakyat
Indonesia dapat meningkatkan kesejahteraannya. Namun dalam pelaksanaannya,
sistem ekonomi liberal pun dimanfaatkan oleh pengusaha asing, termasuk Belanda,
untuk penanaman modal. Sistem tersebut ternyata mengalami kegagaln dalam mencapai
tujuannya, yakni untuk mensejahterakan rakyat, karena tersebut hanya
menguntungkan para pemodal Eropa, sedangkan rakyat Indonesia tetap
dieksploitasi dan berada dalam kesengsaraan.
Kaum
liberal yang pernah memprotes dan menentang sistem tanam paksa kembali
menyuarakan bukan aspirasi mereka. Merekan menuntut agar perbaikan kehidupan
rakyat Indonesia semata mata untuk kepentingan rakyat Indonesia, bukan sekedar
dalih belaka.
Pada
tahun 1880, Dr. Abraham Kupyer dalam majalah De Gids,menerbitkan Ons Program,
yang menuntut pemerintah Belanda agar bertanggung jawab dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Selain itu, muncul juga Conrad Theodore van
Deventer dengan tulisannya Debt of Honour(Hutang
Kehormatan). Ia menuntut agar pemerintah Belanda membayar semua keuntungan dan
kemakmuran yang diperolehnya dari rakyat Indonesia. Melalui gerakan gerakan
tersebut, Politik etis (Politik balas budi) mulai diterapkan di Indonesia.
Politik
etis difokuskan dalam 3 bidang utama, yaitu pendidikan (edukasi), pengairan (irigasi),
dan kependudukan (migarasi). Namun,
dari tiga focus tujuan pelaksnaan politik etis tersebut, para pelopor politik
etis lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan. Untuk itu, pemerintah Hindia
Belanda mulai mengupayakan kemajuan rakyat Indonesia melalui pendidikan. Namun,
kesempatan mengenyam pendidikan tersebutditujukan terutama bagi anak anakn
pejabat, pegawai dalam perusahaan Belanda, pegawai pemerintah Belanda, dan anak
anak bupati dan bangsawan yang mempunyai pikiran lebih maju.
Pada
tahun 1900, pemerintah Hindia Belanda mulai menata kembali sistem pendidikan
yang sudah ada. Merekan mendrikan sekolah sekolah yang bertujuan untuk
melahirkan para birokrat (tenaga pemerintah) yang dapat bekerja pada
pemerintahan Belanda. Sekolah tersebut disebut Hootden School(Sekolah Pangreh Praja),yang kemudian diubah menjadi OSVIA (Opleiding School Voor Inlandische
Amntenaren). Sekolah lainnya adalah STOVIA
(School Tot Opleiding Voor Inlandische Arsten).Sekolah ini, diperuntukan
bagi rakyat Indonesia yang ingin menjadi dokter. Selain itu, ada juga aekolah
yang melahirkan para guru, yaitu Kweek
School. Pada tahun 1892-1893
mulai didirikan sekolah sekolah tingakat dasar seperti Certse Klasse ( Sekolah Kelas Satu), yang kemudian diubah namanya
pada tahun 1914 menjadi HIS (Holandsch
Indische Scholen ).Sekolah tersebut diperuntukan bagi anak priyayi pribumi,
yang menggunakan sistem pendidikan model eropa.Setelah lulus dari HIS, dapat
diteruskan ke MULO(Meer Uitgebretd Layer
Onderwijs)yang didirikan pada tahun 1914. Dari MULO, merekan dapat
melanjutkan ke AMS (Algemeene Middlebare
School)yang didirikan tahun 1919. Sekolah tingkat dasar lainnya adalah Tweede Klasse(Sekolah Kelas Dua) yang
diperuntukan bagi rakyat biasa dengan menggunakan bahasa pengatar daerah atau
bahasa Melayu.
Pendidikan
di HIS,MULO, dan AMS sangat dibatasi,
yaitu hanya dikhususkan bagi para priyayi. Oleh karena itu, yang dapat
meneruskan ke perguruan negeri Belanda pun sangat sedikit sekali, yaitu sekitar
36 orang. Tetapi, sejak 1920, Belanda mulai memberikan kebebasan kepada semua
rakyat Indonesia untuk masuk ke sekolah mana saja dengan syarat memeliki biaya.
Pada
tahun 1920, Belanda membangun sekolah baru bernama Technische Hooge School(Sekolah Tinggi Tehnik, sekarang ITB) di
Bandung. Selanjutnya pada tahun 1924, didirikan pula Rechts Kundige Hooge School(Sekolah Tinggi Hakim) di Batavia.
Sedangkan pada tahun1927, STOVIA diubah menjadi Geenes Kundige Hoog school(Sekolah tinggi kedokteran). Selain
sekolah sekolah tersebut di atas, ada juga sekolah kejuruan, seperti: tehnik,
pertanian, peternakan, dan sebagainya.
Politik
etis yang diselenggarakan oleh Belanda tidak semata mata untuk menyejahterakan
dan mencerdaskan rakyat Indonesia. Namun tujuan sebenarnya dari pendidikan yang
mereka selenggarakan adalah agar mereka mendapat tenaga kerja yang murah dan
terampil, yang dapat mendukung kekuasaanya di Indonesia.
Sesuatu
terjadi di luar dugaan Belanda. Pendidikan yang merka berikan untuk rakyat
Indonesia ternyata secara tidak langsung telah melahirkan golongan terpelajar
yang merupakan pelopor pergerakan nasional. Kaum pribumi yang dapat mengenyam
pendidikan sampai ke tingkat yang lebih tinggi sangat sedikit, namun mereka
berhasil menumbuhkan benih benih semangat
nasionalisme. Kaum pelajar tersebut berubah menjadi elite nasional. Mereka memiliki pandangan yang mantap akan
pentingny persatuan Indonesia. Pandangan tersebut dapat mendobrak fanatisme
kedaerahan, kesukuan, keetnikan dan keterbelakangan bangsa Indonesia.
Faktor
factor yang mendukung terbentuknya persatuan dan kesatuan bangsa adalah sebagai
berikut.
1. Adanya kesadaran dari kaum
terpelajar akan pentingnya persatuan demi mencapai cita cita bersama, yakni
merdeka atau bebas dari belenggu penjajahan.
2. Agama Islam yang merupakan
agama mayoritas rakyat Indonesia, mengajarkan bahwa Jihad Fisabilillahitu wajib dilaksanakan, dengan semboyan hidup
mulia atau mati syahid. Suatu kehormatan bagi mereka, jika mereka terpangil
untuk jihad. Cita cita itulah yang memperkuat dan mempersatukan mereka dalam
misi yang sama, yaitu berjuang untuk mengusir penjajahan.
3. Pendidikan yang mampu
menguba cara pandang seseorang. Kemajuan berfikir seseorang yang didapat dari
proses pendidikan telah menimbulkan keyakinan baahwa di hadapan Tuhan manusia
memiliki harakat dan martabat yang sama. Oleh karena itu, penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan.
4. Perasaan senasib penduduk
tanah jajahan di Asia merupakan semangat pendorong untuk merealisasikan gagasan
kemerdekaan. Dengan bercermin pada perjuangan bangsa Asia lainnya yang
dijadikan sebagai Negara jajahan dan melakukan perlawanan seperti: perlawanan
Filipina atas Spanyol, Perlawanan Turki, Cina, dan India, membuat bangsa
Indonesia sadar bahwa untuk dapat mengusir penjajahan mereka harus bersatu.
Selama ini yang membuat perlawanan rakyat Indonesia selalu berakhir dengan
kegagalan adalah karena mereka tidak bersatu. Para elit nasional menjadi
kelompok yang dapat menyampaikan ide idenya tentang persatuan dan kesatuan.
5. Adanya Volksraad(dewan rakyat) yang dibentuk selama perlawanan politik
etis. Melalui badan tersebut, kamu pelajar dari seluruh Indonesia dipersatukan,
sehingga timbul komunikasi dan kerjasama di antara mereka dalam memikirkan cita
cita nasional untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
6. Adanya kaum professional,
yaitu mereka yang mempunyai keahlian yang terbentuk berkat pendidikan. Mereka
berpendapat bahwa segala bentuk diskriminasi (membeda bedakan antara pribumi
dengan orang Belanda), pembagian kelas kelas, dan sebagainya dapat menghambat
terbentuknya persatuan untuk mengusir penjajahan. Kelas kelas tersebut sengaja
dibuat oleh Belanda uuntuk memecah belah agr mereka menjadi golongan golongan
kecil yang tidak berdaya. Namun, kaum nasionalis mampu mendobrak segala bentuk
diskriminasitersebut. Mereka berpendapat bahwa untuk mengubah nasib bangsa
Indonesia, diperlukan perjuangan di berbagai bidang, baik bidang pendidikan,
sosial-ekonomi, pers, maupun politik. Perjuangan tidak dapatdilakukan
sendirian, melainkan harus dilakukan bersama sama dengan menciptakan persatuan
dan kesatuan.
7. Media netak digunakan untuk
membentuk persamaan persepsi di antara rakyat Indonesia. Selain itu, media masa
juga diangga lebih efektif sebagai sarana pergerakan dan menyampaikan gagasan
dengan cepat, sehingga dalam waktu yang singkat mampu menjangkau daerah yang
luas dengan cakupan pembaca yang lebih luas.
8. Adanya kamu pelajar
Indonesia yang mengenyam pendidikan di luar negeri. Mereka terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu: kamu terpelajar ala-Barat (Belanda) dan kamu terpelajar ala
Timur (Mesir). Kaum terpelajar ala-Barat adalah kaum intelek yang dinamis serta
terbuka, toleran, dan liberal. Sedangkan, kaum intelek ala-Timur, merupakan
kelompok yang bersifat militant, antikolonial, fanatia, dan mengadakan
perlawanan frontal dengan mengggunakan senjata.
Kaum
terpelajar yang sekolah di Belanda ternyata tidak menyaksikan kenyataan bahwa
kolonialisme Belanda juga ditentang oleh para pelajar dari Belanda sendiri.
Mereka menemukan ide ide politik mengenai kebebasan sipil, pemerintahan
demokrasi, pemikiran sosialis yang anti kamilatis, yang dijadikan ideologi bagi
perjuangan mereka dalam melawan Belanda.
Sedangkan
kaum terpelajar yang sekolah di Mesir lebih memusatkan perhatiannya pada
gerakan islam modern sebagai kekuatan untuk mengusir kekafiran Belanda. Karena
menurut keyakinan yang mereka dapatkan, bahwa perjuangan mengusir Belanda bukan
sekedar melawan penjajahan, melainkan lebih kepada melawan kekafiran.
Dengan demikian, meskipun kedua
kelompok belajar yang berbeda dari sisi alam dan melihat ke arah perjuangan
melawan penjajah, tetapi keduanya memiliki tujuan yang sama, yang menghamburkan
penjajah dari Belanda dari bumi Indonesia. Untuk itu, mereka saling mendukung
dalam pertempuran melawan Belanda.
bagi ilmunya iyaah :D
ReplyDeleteErni... terima kasih infonya, bagus.
ReplyDelete