Wednesday, 1 January 2014

Tanam Paksa

Graaf Johannes van den Bosch, pelopor Cultuurstelsel
Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Sejarah
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Aturan
Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa
1        Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
2        Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
3        Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
4        Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
5        Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
6        Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
7        Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Kritik kaum liberal
Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Kritik kaum humanis
Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
Dampak
Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
Dalam bidang sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
Dalam bidang ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.

Sejak VOC dibubarkan tahun 1799, daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda. Kebijakan 'Culture Stelsel' dilaksanakan untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia tanpa mau memperhatikan rakyat Indonesia dibawah pimpinan Van Den Bosch. Secara teoritis, peraturan yang ditetapkan dalam sistem tanam paksa tidak memberatkan. Akan tetapi dalam prakteknya, banyak sekali penyimpangan yang dilakukan dalam sistem ini. Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai berikut:
8        Dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk 'cultur stelsel' adalah seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga dan bahkan setengah dari sawah milik pribumi.
9        Tanah petani yang dipilih hanya tanah yang subur, sedangkan rakyat hanya mendapat tanah yang tidak subur.
10    Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian.
11    Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
12    Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
13    Penduduk yang tidak memiliki tanah dipekerjakan di perkebunan Belanda, dengan waktu 3-6 bulan bahkan lebih.
14    Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam, tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
15    Kerusakan tanaman tetap ditanggung petani.

A. PENYIMPANGAN SISTEM TANAM PAKSA
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
16    Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada Belanda.
17    Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.
18    Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
19    Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
20    Bahaya kelaparan dan wabah penyakit timbul di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan yang menimbulkan korban jiwa terjadi di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah penduduknya yang semula 336.000 jiwa turun sampai dengan 120.000 jiwa, di Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa. Demikian pula yang terjadi di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem) merajalela.

Gambar: Tanam Paksa

Pelaksanaan sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui parlemen di Negeri Belanda.


B. TOKOH-TOKOH PENENTANG TANAM PAKSA
Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai berikut.

1. Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.

2. Baron van Hoevell (1812–1870)
Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.

3. Fransen van der Putte (1822-1902)
Fransen van der putte yang menulis 'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap kegiatan tanam paksa.

4. Golongan Pengusaha
Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan. Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
·         Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
·         Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
·         Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.

Karena banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berperikemanusiaan tidak hanya di negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal kolonial.


C. DAMPAK TANAM PAKSA
1. Bagi Belanda
1        Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
2        Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
3        Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
4        Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
5        Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
6        Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
7        Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.

2. Bagi Indonesia
8        Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
9        Beban pajak yang berat.
10    Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
11    Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
12    Pemaksaan bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
13    Jumlah penduduk Indonesia menurun.
14    Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
15    Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
16    Memperkenalkan teknoligo multicrops dalam pertanian.


D. PENGARUH SISTEM TANAM PAKSA DI MASYARAKAT
1. Bidang Sosial
17    Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. (Sartono, 1987: 321).
18    Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri.Penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
19    Tanam paksa secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
20    Peranan bahasa melayu dan bahasa daerah dikalangan penguasa.

2. Bidang Ekonomi
21    Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
22    Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.(Burger, 1977: 18).

Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial.

Dampak Positif & Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Di Indonesia (1830-1870)
Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van Den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah. Dalam membebankan Van Den Bosch denagn tugas yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia Belanda terutama terdorong oleh keadaan yang parah dari keuangan negeri Belanda. Hal ini disebabkan budget pemerintah Belanda dibebani hutang hutang yang besar. Oleh karena masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni- koloninya di Asia, salah satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada pertimbangan- pertimbangan ini merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van Den Bosch sendiri. 
Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman tanaman dagang untuk diekspor ke pasaran dunia. Walaupun antara sisitem eksploitasi VOC dan sistem tanam paksa terdapat persamanaan, khususnya dalam hal penyerahan wajib, namun pengaruh sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh lebih dalam dan jauh lebih menggoncangkan daripada pengaruh VOC selama kurang lebih 2 abad. Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van Den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang yaitu hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang dilakukan selama sistem pajak tanah masih berlaku. Van Den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan pajak in natura ini tanaman dagang bisa dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan besar bagi pemerintah dan penguasa penguasa Belanda.

Sistem tanam paksa pada hakikatnya merupakan satu keping uang logam, disatu sisi tanam paksa merupakan penyebab penderitaan rakyat pada selang waktu antara tahun 1830 hingga 1870, namun disisi lain tanam paksa juga memiliki dampak positif beserta segala kebermanfataannya bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka penyusun tertarik untuk melakukan satu kajian terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa. Sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai satu khasanah pengetahuan baru mengenai kerugian dan keuntungan pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia bagi masyarakat Indonesia itu sendiri
A.    Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (1830-1870)
Pelaksanaan Sistem tanam paksa tertuang dalam ketentuan-ketentuan pokok dalam Staatsblad(Lembaran Negara) tahun 1834, no 22 berbunyi sebagai berikut:
21    Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
22    Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan in tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
23    Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
24    Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
25    Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
26    Panen tanaman dagangan yang gaagl harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan pihak rakyat.
27    Penduduk desa mengerjakan tanah tanah meeka dibawah pengawasan kepala kepala mereka, sedangkan pegawai pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman tanaman agar berjalan dengan baik dan tepat waktu.                 
Menurut ketentuan-ketentuan diatas memang tidak terlihat pemerintah Belanda menekan rakyat. Namun di dalam prakteknya pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali menyimpang jauh dari ketentuan-ketentuan di atas, sehingga rakyat banyak dirugikan (Kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan 7). Dalam menjalankan tanam paksa pemerintah Belanda menggunakan ikatan komunal dan ikatan desa untuk mengorganisir masyarakat. Van den bosch menggunakan pengaruh para bupati sehingga kekuasaan para bupati menjadi luas selain itu para bupati dan kepala desa mendapatkan cultuurprocentendisamping pendapatan yang didapat dari pemerintah, cultuurprocentenini presentase tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman tanaman ekspor yang diserahkan kepada pegawai Belanda, bupati dan kepala desa jika mereka berhasil mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada setiap desa. Cara-cara ini tentu saja menimbulkan banyak penyelewengan yang merugikan rakyat karena pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa mempunyai keuntungan sendiri dalam usaha untuk meningkatkan produksi tanaman dagang untuk ekspor.
 Salah satu akibat yang sangat penting dari tanam paksa adalah meluasnya bentuk tanah milik bersama (komunal). Hal ini dikarenakan para pegawai pemerintah kolonial cenderuing memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebankan pada setiap desa. Jika para pegawai pemerintah Belanda misalnya harus mengadakan persetujuan yang terpisah dengan setiap petani, memperoleh seperlima bidang tanah mereka, hal ini akan mempersulit mereka. Maka akan jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan desa.
B.     Dampak Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Sebagaimana dijelaskan dimuka, sistem tanam paksa yang diterapkan itu pada dasarnya adalah penghidupan kembali sistem eksploitasi dari jaman VOC yang berupa penyerahan wajib. Dalam perumusannya, sistem tanam paksa merupakan merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Maka, ciri pokok sistem tanam paksa terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk barang, bukan dalam bentuk uang.
Dalam prakteknya, pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis. Dapat dikatakan bahwa antara peraturan dan pelaksanaan sangat berbeda. Contohnya, penyediaan tanah untuk tanaman yang diminta pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan, karena dilakukan dengan cara paksaan, bukan dengan persetujuan sukarela.
Mengenai penyelewangan peraturan ini, Fauzi (1999) berpendapat sebagaiman berikut:

“…..bagian tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib bukan 1/5 bagian, tapi lebih luas kira-kira 1/3 atau 1/2 bagian, bahkan sering seluruh desa. Demikian pula pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut jumlahnya. Juga kegagalan panen dibebankan pada penduduk, yang sebenarmya harus menjadi beban pemerintah.

Secara garis besar sistem tanam paksa ini telah menimbukan berbagai akibat pada kehidupan masyarakat pedesaan di Pulau Jawa, yaitu menyangkut tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa telah mencampuri sistem pemilikan tanah di pedesaan, karena para petani diharuskan untuk menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Perubahan ini telah menyebabkan pergeseran sistem penguasaan dan pemilikan tanah. sistem tanam paksa juga membutuhkan tenaga kerja rakyat secara besar-besaran untuk penggarapan lahan, penanaman, dan lain-lain. Kerja paksa ini sangat memberatkan penduduk, selain karena tidak diberi upah, juga karena tugas pekerjaan yang harus dikerjakan secara fisik cukup berat.
Adapun dampak negatif pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia, secara garis besar dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
28    Meluasnya bentuk milik tanah bersama(komunal) tujuannya mempermudah menetapakan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan. Hal ini berarti kepastian hukum individu telah lepas.
29    Meluasnya kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah Belanda sebagai alat organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan salah satunya dari cultuurprocenten.
30    Tanah tanah pertanian  yang harus dijadikan untuk tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah pertanian di desa.
31     Disintegrasi struktur sosial masyarakat desa.
C.    Dampak Positif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia (1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu menghapuskan utang-utang internasionalnya bahkan  menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia untuk komoditi tropis (Fauzi, 1999:31). Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui betapa pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ini telah memberikan keuntungan yang melimpah bagi negeri Belanda, namun tidak halnya bagi masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah menimbulkan berbagai akibat pada masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan hak kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem tanam paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat di pedesaan.
Dalam tanam paksa, jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanam adalah kopi, tebu, dan indigo. Dengan diperkenalkannya tanaman-tanamn ekspor ini maka masyarakat dapat mengetahui tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi di pasaran internasional. Dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang tanaman ekspor, maka tentunya etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan.
Sistem tanam paksa dapat diibaratkan sebagai 1 keping uang logam, disatu sisi pelaksanannya telah memunculkan satu kerugian bagi masyarakat pedesaan Indonesia, namun disisi lain sistem tanam paksa juga memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Dampak positif dari sistem tanam paksa itu sendiri dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
 
32    Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila, lada, tebu.
33    Diperkenalkannya mata uang secara besar besaran samapai lapisan terbawah masyarakat Jawa.
34    Perluasan jaringan jalan raya. Meskipuntujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang.
35    Berkembangnya industialisasi di pedesaan

Ternyata dalam praktiknya menyimpang. Hal ini membawa akibat yang sangat berat bagi rakyak indonesia. Seperti ; 1. Akibat tanah terbengkalai, panen gagal. 2. Kemiskinan, 3. Kemelaratan, 4. Wabah penyakit, 5. Kematian. daerah yang paling banyak yang mengalami penderitaan ini adalah demak, purwodadi, dan priangan. Sedangkan bagi belanda mendatangkan ke untungan yang melimpah. Berjuta-juta golden uang mengalir ke negeri belanda sehingga dapat digunakan untuk; 1. Mengisi kekosongan kas negara, 2. Melunasi hutang, 3. Membuat jalan kereta api dan pelabuhan, dan 4. Membangun pusat perindustrian. kerja paksa sering disebut kerje sodi.

Timbulnya Sistem Tanam Paksa

Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar. Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut.

1)   Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.

2)   Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenisjenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.

3)   Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.

Ø  Aturan-Aturan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

1)   Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.

2)   Tanah yang disediakan bebas dari pajak.

3)   Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.

4)   Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.

5)   Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.

6)   Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.

7)   Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepalakepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.

Ø  Pelaksanaan Tanam Paksa

Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.

1)   Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.

2)   Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.

3)   Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.

4)   Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.

5)   Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah

6)   Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata
tidak dikembalikan.

Ø  Akibat Tanam Paksa

Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.

1.    Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)

a.         Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.

b.         Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.

c.         Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.

d.         Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.

e.         Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.

2.    Bagi Belanda.

Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:

a.         Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.

b.         Hutang-hutang Belanda terlunasi.

c.         Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.

d.        Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.

e.         Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.

f.          Perdagangan berkembang pesat.

Ø  Akhir Tanam Paksa

Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.

1)        Golongan Pengusaha

Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.

2)        Baron Van Hoevel

Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.

3)         Eduard Douwes Dekker

Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda. Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.

Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa

Kegagalan van der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga menyebabkan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Gubernur Jenderal van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia. Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam. Namun di Indonesia cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa. Ini cukup beralasan diartikan seperti itu karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau. Cultuurstelsel diberlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar dapat diatasi. Berikut ini pokok-pokok cultuurstelsel.

Pokok-Pokok Sistem Tanam Paksa:

1.      Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.

2.      Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.

3.      Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.

4.      Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk menanam padi.

5.      Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik pemerintah.

6.      Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.

7.      Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa). (Sumber: Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1.500 – 1.900, 1999)

Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa

Untuk mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para bupati sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda.
Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.

Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.

1.        Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.

2.        Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.

3.        Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.

4.        Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.

5.        Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.

Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.

Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan mengakibatkan kematian penduduk meningkat.

Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil. Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.

(Fransen van de Putte yang menerbitkan Suiker Contracten)

Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).

Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).

Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat, yaitu:

1.        terbukanya lapangan pekerjaan,

2.        rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan rakyat mengenal cara menanam yang baik.

Tanam Paksa pada masa Hindia Belanda

Ada sebuah kenyataan yang menyedihkan di negeri kita. Kita menyatakan bahwa kita telah bebas dari penjajahan, namun ternyata banyak kondisi yang ada di masa penjajahan masih harus kita rasakan hari ini setelah kemerdekaan itu kita raih. Padahal bukankah sudah seharusnya kondisi ketika merdeka itu berbeda dengan kondisi ketika dijajah?

Hindia-Belanda adalah sebuah negara koloni Kerajaan Belanda yang wilayahnya terletak di wilayah yang kita sebut Indonesia sekarang ini. Pusat pemerintahan Hindia-Belanda terletak di Batavia (sekarang Jakarta). Kepala pemerintahan tertinggi di Hindia-Belanda adalah seorang Gubernur Jenderal. Jelas sekali, bahwa hadirnya pemerintah Hindia-Belanda di negeri ini tidak pernah bertujuan untuk mensejahterakan inlander (pribumi). Kehadiran mereka murni hanya untuk mengeruk apapun barang berharga yang mereka temukan di negeri ini, kemudian mereka alirkan hanya untuk kepentingan dan keuntungan diri mereka sendiri.

Pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch menetapkan sebuah kebijakan bernama Cultuurstelsel, belakangan mekanisme ini dikenal sebagai Tanam Paksa. Sistem ini mewajibkan siapapun yang memiliki tanah untuk menyisihkan 20% tanahnya guna ditanami komoditas ekspor yang amat dibutuhkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, seperti kopi, tebu, dan nila. Hasil panen kemudian dijual kepada pemerintan Hindia-Belanda dengan harga yang ‘sudah ditentukan’ (ngerti kan kenapa saya kasih tanda kutip di situ?). Lebih dari itu, penduduk desa yang tidak punya tanah harus bekerja di lahan-lahan pemerintah sebanyak 75 hari dalam setahun. Aturan tinggal aturan, praktinya ternyata lebih parah dari itu. Lahan penduduk yang dirampas oleh pemerintah ternyata bukan cuma 20% tapi seluruhnya, hasil panennya pun diserahkan tanpa kompensasi. Rakyat yang tidak punya tanah pun wajib bekerja bukan 75 hari, tapi 365 hari.

Karena kebijakan keji ini telah berhasil memakmurkan negeri Belanda, van den Bosch dianugerahi gelar Graaf pada tahun 1839. Baru pada tahun 1870 kebijakan ini dihentikan karena orang-orang Belanda sendiri memandangnya sebagai sebuah kebijakan yang keji (yaiyalah keji!!!).

Kondisi tanam paksa di atas mirip sekali dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Pada jaman Hindia-Belanda rakyat tidak bisa menikmati sumber daya alam yang sesungguhnya menjadi milik mereka, hal yang sama terjadi pada jaman Indonesia. Berbagai ladang minyak dan barang tambang yang ada di negeri ini tidak bisa dinikmati rakyat karena sudah terlanjur dikuasai oleh korporat-korporat asing dengan legalisasi dari undang-undang  pemerintah Indonesia. Korporat-korporat asing seperti Freeport, Newmont, Exxon, Chevron, dll. itulah yang menguasai dan mengeruk sumber daya alam kita, sementara kita sendiri hanya mendapatkan ampasnya. Lihatlah betapa ganasnya limbah tailing yang dihasilkan dari aktivitas penambangan Freeport di Papua. Yang jadi korban adalah rakyat.

Kedua kondisi ini mirip, yang membedakannya hanya satu: pada jaman Hindia-Belanda, orang-orang asing penjajah itulah yang langsung memerintah kita, sementara pada jaman Indonesia, yang memerintah adalah anak-anak negeri kita sendiri, tapi mereka berpihak kepada orang-orang asing penjajah. Di saat yang sama pemerintahan kita itu menipu kita dengan slogan-slogannya
Tanam Paksa di Indonesia

Cultuurstelsel (atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Sistem tanam paksa ini dilakukan untuk mengatasi keadaan keuangan negara yang memburuk akibat perang Diponegoro dan pemasukan pajak tanah yang tidak mencukupi. Ditentang oleh Flout dan Dewan Pertimbangan Agung Hindia Belanda (Bel.: Road van Jndie) tetapi disetujui raja Belanda Willem I. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Tanam Paksa ini mulai dilaksanakan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada tahun 1830, dan hal ini merupakan manifestasi dari"forced specialization" yang didasarkan pada analisis manfaat komparatif Ricardo oleh pihak penjajah. Spesialisasi tanam paksa ini dijalankan dengan cara pembiayaan brutal dalam bentuk kerja paksa atau mobilisasi paksa dan ini merupakan komersialisasi kolonial di sektor pertanian. Proses ini mengakibatkan surplus ekonomi yang praktis tanpa modal pokok yang berarti, karena modal pokok dalam investasi tanam paksa ini adalah tenaga kerja petani kita di Pulau Jawa (Frank, 1981) Tenaga kerja yang diperas dengan pendapatan riil yang kecil menempatkan para petani menjadi tenaga kerja yang optimal bagi Belanda yang mana akhirnya proyek ini menciptakan strata sosial di dalam masyarakat dan menempatkan petani pada strata sosial bawah yang tidak sanggup memperbaiki dirinya sendiri apalagi untuk melakukan mobilitas sosial secara vertikal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Egbert de Vries (1931) atas kajiannya mengenai kasus kegiatan pertanian di Pasuruan yang menjadi contoh kehidupan petani pada waktu itu. Pada tahun 1926 Vries menggambarkan bahwa sebanyak 62,5% dari penduduk pedesaan Jawa tergolong sebagai lapisan miskin desa atau proletariat desa. Kelompok proletariat desa ini kemudian dalam sejarah investasi kolonial berikutnya, yaitu pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatra Timur setelah cultuurstelsel berakhir, menjadi sumber buruh murah bagi perkebunan-perkebunan besar ini.

Pengiriman penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera mirip dengan pengiriman budak oleh kekuasaan kolonial Inggris ke West Indies untuk dipaksa bekerja di perkebunan-perkebunan gula disana. Surplus ekspor (sesudah dikurangi impor) sebagai hasil cultuurstelsel tercatat berjumlah 781 juta Gulden dalam periode 1840-1875 dan melonjak luar biasa ketika terjadi pembukaan perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera, yaitu menjadi 3,3 milyar gulden dalam periode 1915-1920 (Hatta, 1972), namun demikian tanam paksa ini tidak memberikan kemakmuran bagi negara jajahannya.

Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda. Namun demikian usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Tetapi tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa.

Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut. Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.

SISTEM TANAM PAKSA DI INDONESIA
SISTEM TANAM PAKSA
Pelaksanaan tanam paksa di Jawa berlangsung lebih kurang selama 40 tahun dan memberikan hasil yang baik bagi pemerintah kolonial sehingga dapat membangun di segala bidang. Sedangkan bagi penduduk di Jawa khususnya, memberikan pula dampak dalam bidang sosial maupun ekonomi, antara lain:
Dampak Sosial
36    Dalam bidang pertanian, khususnya dalam  struktur agraris  tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara  majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak,  melainkan terjadinya  homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
37    Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Mengapa terjadi hal demikian? Karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan  kehidupan penduduknya.
Dampak ekonomi:
38    Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan  pekerja mengenal  sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama  tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
39    Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
Dampak lain dari tanam paksa tersebut yaitu secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
Untuk itu pemerintahan kerajaan belanda mengangkat Van den bosch sebagai gubernur Jenderal di Indonesia, dengan tugas pokok mengusahakan semaksimal mungkin untuk diperas untuk Negara kosong dan mengisi kas Negara yaitu dengan system tanam paksa  ( Cultuur stelsel ). Inti dari tanam paksa adalah rakyat harus membayar harus membayar pajak dengan hasil tanaman ekspor seperti : tebu, kopi, tembakau, nila dan sebgainya.
Peraturan tanam paksa :
40    Penduduk desa wajib menanam tanaman yang laku di pasaran eropa dan 1/5 bagian tanah / lebih.
41    Tanah yang digunakan itu dibebaskan dari pajak.
42    Wajib tanam paksa dapat diganti dengan penyerahan tenaga menanam tanaman paksa tidak memiliki sawah.
43    Tenaga danaktu yang dipergunakan untuk menanam tanaman paksa tidak boleh melebihi  tenaga dan waktu untuk mengerjakan tanaman padi/tanahnya sendiri.
44    Hasil tanaman harus diserahkan kepada pemerintah belanda dan jika harga yang ditaksir melebihi pajak,maka kelebihan itu akan dikembalikan kepada rakyat.
45    Kegagalan panen ditanggung pemerintah, jika bukan karena kesalahan rakyat atau disebabkan kurang rajin dalam mengerjakannya.
46    Penggarapan tanah di bawah pengawasan langsung penguasa pribumi.
Pelaksanaan system tanam paksa ini sangat besar artinya bagu belanda karena dapat mengbalikan kejayaan dan menutup kas yang kosong. Namu bagi Indonesia justru menjadikan rakyat ,menderita akhirnya membawa kematian.(daerah yang paling menderita Demak, Grobogan, Cirebon). Pelaksanaan tanam paksa menimbulkan reaksi baik dari orang belanda sendiri maupun dari rakyat kecil yang langsung mengalaminya.
Reaksi kaum kapitalis humanis belanda :
Dua orang belanda yang menentang tanam paksa adalah Edward Douwes Dekker dan Baron Van Hoevel. Mereka menantanag berdasarkan  pada prinsip etika dan perikemanusiaan. Douwes Dekker dengan nama samarannya Murtatuli menulis buku yang berjudul Mac Havelaar yang isinya protes keras agar tanam paksa dihapus dan sebagai penggantinya dilaksanakan olitik etis.
Dampak Tanam Paksa bagi Belanda:
a. Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi
b. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja
c. Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi          utang-utang Indonesia.
d. Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman    tropis.
Dampak tanam paksa bagi Indonesia
a. Menyebabkan tekanan fisik maupun mental yang berkepanjangan bagi rakyat Indonesia
b. Jumlah penduduk di Pulau jawa menurun drastic dikarenakan banyaknya kelaparan dan kematian karena system tanam paksa ini
c. Pertanian terutama hasil padi mengalami banyak kegagalan.
Akhirsistemtanampaksa
Dikarenakan banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berprikemanusiaan tidak hanya di Negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal colonial.
Dampak positif bagi Indonesia :
ü  membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri
·           Misalnya harga yang di taksir melebihi pajak maka akan di kembalikan kepada rakyat Indonesia
ü  Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
·         tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara  majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak,  melainkan terjadinya  homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
Dampak negative bagi Indonesia :
Penduduk harus memberikan semua hasil pribuminya sebagian untuk diberikan kepada pemerintah belanda
Sangat merugikan bagi rakyat Indonesia,karena banyak sekali penduduk yang kekurangan pangan untuk kehidupan sehari hari
Dengan adanya sistem tanam paksa meresahkan sekali bagi rakyat Indonesia,karena warga Indonesia menjadi miskin kekayaan alamnya dan orang-orangnya menjadi budak orang belanda dan tanpa dijatahi upah untuk hasil kerja kepada belanda,tetapi tidak diberi
·               Negara Indonesia diperas oleh pemerintahan belanda,supaya menutupi kekosongan di bagian yang belum lengkap dalam hasil kekayaan alam dan hutang.

ujuan serta Akibat Belanda Melakukan Sistem Tanam Paksa (Kelas XI ; BAB II ; Tujuan Pembelajaran 3 dan 4)
Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van Den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah. Oleh karena masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni- koloninya di Asia, salah satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada pertimbangan- pertimbangan ini merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van Den Bosch sendiri. 
Sistem tanam paksa pada hakikatnya merupakan satu keping uang logam, disatu sisi tanam paksa merupakan penyebab penderitaan rakyat pada selang waktu antara tahun 1830 hingga 1870, namun disisi lain tanam paksa juga memiliki dampak positif beserta segala kebermanfataannya bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka penyusun tertarik untuk melakukan
satu kajian terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa. Sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai satu khasanah pengetahuan baru mengenai kerugian dan keuntungan pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.
        A.    Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (1830-1870)
 Pelaksanaan Sistem tanam paksa tertuang dalam ketentuan-ketentuan pokok dalam Staatsblad(Lembaran Negara) tahun 1834, no 22 berbunyi sebagai berikut:
47    Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
48    Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan in tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
49    Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
50    Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
51    Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
52    Panen tanaman dagangan yang gaagl harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan pihak rakyat.
53    Penduduk desa mengerjakan tanah tanah meeka dibawah pengawasan kepala kepala mereka, sedangkan pegawai pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman tanaman agar berjalan dengan baik dan tepat waktu.                 
Menurut ketentuan-ketentuan diatas memang tidak terlihat pemerintah Belanda menekan rakyat. Namun di dalam prakteknya pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali menyimpang jauh dari ketentuan-ketentuan di atas, sehingga rakyat banyak dirugikan (Kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan 7).
 Salah satu akibat yang sangat penting dari tanam paksa adalah meluasnya bentuk tanah milik bersama (komunal). Hal ini dikarenakan para pegawai pemerintah kolonial cenderuing memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebankan pada setiap desa.
     B.     Dampak Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Sebagaimana dijelaskan dimuka, sistem tanam paksa yang diterapkan itu pada dasarnya adalah penghidupan kembali sistem eksploitasi dari jaman VOC yang berupa penyerahan wajib. Dalam perumusannya, sistem tanam paksa merupakan merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Maka, ciri pokok sistem tanam paksa terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk barang, bukan dalam bentuk uang.
Dalam prakteknya, pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis. Dapat dikatakan bahwa antara peraturan dan pelaksanaan sangat berbeda. Contohnya, penyediaan tanah untuk tanaman yang diminta pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan, karena dilakukan dengan cara paksaan, bukan dengan persetujuan sukarela.
Mengenai penyelewangan peraturan ini, Fauzi (1999) berpendapat sebagaiman berikut:
“…..bagian tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib bukan 1/5 bagian, tapi lebih luas kira-kira 1/3 atau 1/2 bagian, bahkan sering seluruh desa. Demikian pula pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut jumlahnya. Juga kegagalan panen dibebankan pada penduduk, yang sebenarmya harus menjadi beban pemerintah.
Adapun dampak negatif pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia, secara garis besar dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
54    Meluasnya bentuk milik tanah bersama(komunal) tujuannya mempermudah menetapakan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan. Hal ini berarti kepastian hukum individu telah lepas.
55    Meluasnya kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah Belanda sebagai alat organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan salah satunya dari cultuurprocenten.
56    Tanah tanah pertanian  yang harus dijadikan untuk tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah pertanian di desa.
57     Disintegrasi struktur sosial masyarakat desa.
        C.  Dampak Positif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia (1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu menghapuskan utang-utang internasionalnya bahkan  menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia untuk komoditi tropis (Fauzi, 1999:31). Meskipun demikian, pelaksaan sistem tanam paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat di pedesaan.
Sistem tanam paksa dapat diibaratkan sebagai 1 keping uang logam, disatu sisi pelaksanannya telah memunculkan satu kerugian bagi masyarakat pedesaan Indonesia, namun disisi lain sistem tanam paksa juga memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Dampak positif dari sistem tanam paksa itu sendiri dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
 
58    Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila, lada, tebu.
59    Diperkenalkannya mata uang secara besar besaran samapai lapisan terbawah masyarakat Jawa.
60    Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang.
61    Berkembangnya industialisasi di pedesaan

Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) 1830–1870
a. Latar Belakang Timbulnya Sistem Tanam Paksa
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.

Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut.
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenisjenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah Belanda.
b. Aturan-Aturan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang diajukan oleh Van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles) dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1) Penduduk desa yang punya tanah diminta menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran dunia.
2) Tanah yang disediakan bebas dari pajak.
3) Hasil tanaman itu harus diserahkan kepada pemerintah Belanda. Apabila harganya melebihi pembayaran pajak maka kelebihannya akan dikembalikan kepada petani.
4) Waktu untuk menanam tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi.
5) Kegagalan panenan menjadi tanggung jawab pemerintah.
6) Wajib tanam dapat diganti dengan penyerahan tenaga untuk dipekerjakan di pengangkutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik selama 66 hari.
7) Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh kepalakepala pribumi, sedangkan pihak Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
c. Pelaksanaan Tanam Paksa
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan, namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat. Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara lain sebagai berikut.
1) Tanah yang disediakan melebihi 1/5, yakni 1/3 bahkan 1/2, malah ada seluruhnya, karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib.
2) Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
3) Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerinah tidak dibayar.
4) Waktu yang dibutuhkan tenyata melebihi waktu penanaman padi.
5) Perkerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih berat daripada di sawah
6) Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada petani, ternyata
tidak dikembalikan.
d. Akibat Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menimbulkan akibat sebagai berikut.
1) Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)
a) Sawah ladang menjadi terbengkelai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga penghasilan menurun drastis.
b) Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
c) Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
d) Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
e) Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di samping itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) di mana-mana.
2) Bagi Belanda.
Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda ialah sebagai berikut:
a) Keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.
b) Hutang-hutang Belanda terlunasi.
c) Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
d) Kas Negeri Belanda yang semula kosong dapat terpenuhi.
e) Amsterdam berhasil dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia.
f) Perdagangan berkembang pesat.
e. Akhir Tanam Paksa
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti berikut ini.
1) Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2) Baron Van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847). Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa dihapuskan.
3) Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen Lebak (Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti "aku telah banyak menderita", ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa. Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun 1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.

Dampak Aturan Tanam Paksa
a. Dampak Aturan Tanam Paksa Bagi Pemerintah Belanda
62    Pemerintah Belanda dapat mengatasi kesulitan keuangan.
63    Pemerintah Belanda dapat melunasi utangnya.
64    Keuangan Belanda mengalami surplus (kelebihan).
65    Perusahaan Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) mendapatkan keuntungan yang berlimpah.
b. Dampak Aturan Tanam Paksa Bagi Rakyat Indonesia
Sisi Positif:
66    Petani mengalami jenis tanaman baru dari luar negeri.
67    Petani mengetahui daerah-daerah yang sesuai untuk jenis tanaman tertentu.
68    Petani mengetahui cara mengelola tanah dan memelihara tanaman ekspor.
69    Pasar internasional mengetahui hasil tanaman perdagangan Indonesia.
Sisi Negatif:
70    Lahan pertanian rakyat menjadi terbengkalai karena tidak terurus.
71    Gagal panen pertanian rakyat sehingga petani mengalami kerugian besar.
72    Timbul kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit, dan kematian.
73    Mental bangsa turun karena selalu tertekan.
Reaksi Terhadap Pelaksanaan Aturan Tanam Paksa
Di Belanda, antara tahun 1850 – 1860, terjadi perdebatan antara kelompok yang setuju dengan kelompok yang menentang pelaksanaan aturan tanam paksa. Kelompok yang menyetujui pelaksanaan tanam paksa terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah dan pemegang saham perusahaan Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) yang mendapat hak monopoli perdagangan. NHM sendiri merupakan perusahaan dagang Belanda yang didirikan di Belanda pada tahun 1824. NHM menjadi agen tunggal penyalur hasil perkebunan di Hindia Belanda (Indonesia) sejak tahun 1826.
Adapun pihak yang menentang pelaksanaan tanam paksa terdiri atas kelompok dari kalangan agama dan rohaniawan, serta golongan menengah yang meliputi pengusaha dan pedagang swasta yang iba atas penderitaan rakyat Indonesia.
Di sisi lain, golongan menengah menghendaki agar pemerintah bertindak sebagai pelindung, penyedia sarana dan prasarana, serta sebagai pengatur pelaksanaan hukum, keamanan, dan ketertiban.

Pada tahun 1870, perekonomian Hindia Belanda (Indonesia) mulai memasuki zaman liberal hingga tahun 1900. Kaum liberal atau kaum kapitalis berpendapat bahwa perkembangan ekonomi yang pesat (hasil kerja dari pihak-pihak swasta) akan meningkatkan kesejahteraan, sedangkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian rakyat yang terus-menerus justru akan berdampak buruk untuk perekonomian dan kemakmuran rakyat.

Pengaruh Kebijakan Kolonial Terhadap Terbentuknya Kesadaran Nasional Indonesia
Pelaksanaan politik etisdi Indonesia yang dilatorbelakangi oleh munculnya kaum humanisme pada dasarnya merupakan program balas budi dari pihak Belanda atas pengorbanan bangsa Indonesia yang telah dirampas kekayaannya oleh Belanda. Dengan adanya politik etis, rakyat Indonesia mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Program tersebut telah melahirkan benih-benih kaum terpelajar yang kelak akan memelopori pergerakan kebangsaan Indonesia. Dari sinilah muncul kesadaran rakyat Indonesia, bahwa untuk mengusir penjajahan, mereka harus menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
            Penderitaan Rakyat Indonesia akibat berbagai kebijakan yang diterapkan dalam sistem kolonialisme yang berupa monopoli perdagangan, tanam paksa, dan kerja paksa sudah tidak dapat ditolelir lagi.
            Sumber kekayaan alam Indonesia terus dieksploitasi untuk mengisi kas keuangan Belanda. Rakyat Indonesia depekerjakan tanpa upah atau diperlakukan secara tidak layak. Kenyataan tersebut sungguh ironis, rakyat Indonesia yang bekerja keras, sedangkan Belanda yang menikmatinya.
            Penderiaan yang dialami bangsa Indonesia telah menimbulkan reaksi, baik dari pihak bangsa Indonesia sendiri maupun dari pihak Belanda, terutama orang orang Belanda yang menaruh simpati terhadap penderitaan bangsa Indonesia, yaitu yang disebut dengan golongan liberalisdan humanis.Mereka menentang sistem tanam paksa yang berlaku pada saat itu. Sistem tanam paksa merupakan sistem yang menindas, mengeksploitasi dan memperlakukan rakyat Indonesia secara tidak adil.
            Salah stu tokoh yang memperjuangkan agar sistem tanam paksa dihapuskan adalah Baron van Hoevel. Ia adalah seorang anggota perlemen Belanda. Pada tahun 1848, kamu liberal berhasil mendapat suara mayoritas dalam parlemen, mendesak agar dibentuk undang undang baru. Dengan undang undang tersebut, parlemen berhak mengendalikan semua kegiatan pemerintahan di Negara jajahan, termasuk terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia.
            Selain melalui parlemen, perlawanan menentang sistem tanam paksa juga dilakukan melalui tulisan tulisan berupa buku dan pamphlet, yang menceritakan penderitaan rakyat Indonesia akibat diterapkannya sistem tanam paksa, seperti Edward Douwes Dekker (Multatuli)yang menuliskan buku dengan judul Max Havelaar. Dalam bukunya, ia menceritakan penderitaan bangsa Indonesia. Akibatnya, timbul semangat anti pemerintahan Belanda dalam hati rakyat Indonesia.
            Akhirnya, sistem tanam paksa mulai dihapuskan. Kepala dan pegawai pemerintahan tidak diizinkan untuk menerima kondisi dari hasil hasil yang ditetapkan. Mereka melakukan pengontrolan dan supervisi. Kerja paksa yang dilakukan di tengah tengah hutan rimba dihapuskan. Tanaman wajib yang harus diserahkan oleh bangsa Indonesia kepada pemerintah dibatasi. Selain itu, para pekerja dan pemberi jasa harus mendapatkan upah.
            Setelah sistem tanam paksa dihapuskan, Belanda menggantikannya dengan sistem ekonomi liberal yang mulai dilaknsanakan tahun 1870. Melalui sistem ekonomi liberal ini, diharapkan rakyat Indonesia dapat meningkatkan kesejahteraannya. Namun dalam pelaksanaannya, sistem ekonomi liberal pun dimanfaatkan oleh pengusaha asing, termasuk Belanda, untuk penanaman modal. Sistem tersebut ternyata mengalami kegagaln dalam mencapai tujuannya, yakni untuk mensejahterakan rakyat, karena tersebut hanya menguntungkan para pemodal Eropa, sedangkan rakyat Indonesia tetap dieksploitasi dan berada dalam kesengsaraan.
            Kaum liberal yang pernah memprotes dan menentang sistem tanam paksa kembali menyuarakan bukan aspirasi mereka. Merekan menuntut agar perbaikan kehidupan rakyat Indonesia semata mata untuk kepentingan rakyat Indonesia, bukan sekedar dalih belaka.
            Pada tahun 1880, Dr. Abraham Kupyer dalam majalah De Gids,menerbitkan Ons Program, yang menuntut pemerintah Belanda agar bertanggung jawab dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Selain itu, muncul juga Conrad Theodore van Deventer dengan tulisannya Debt of Honour(Hutang Kehormatan). Ia menuntut agar pemerintah Belanda membayar semua keuntungan dan kemakmuran yang diperolehnya dari rakyat Indonesia. Melalui gerakan gerakan tersebut, Politik etis (Politik balas budi) mulai diterapkan di Indonesia.
            Politik etis difokuskan dalam 3 bidang utama, yaitu pendidikan (edukasi), pengairan (irigasi), dan kependudukan (migarasi). Namun, dari tiga focus tujuan pelaksnaan politik etis tersebut, para pelopor politik etis lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan. Untuk itu, pemerintah Hindia Belanda mulai mengupayakan kemajuan rakyat Indonesia melalui pendidikan. Namun, kesempatan mengenyam pendidikan tersebutditujukan terutama bagi anak anakn pejabat, pegawai dalam perusahaan Belanda, pegawai pemerintah Belanda, dan anak anak bupati dan bangsawan yang mempunyai pikiran lebih maju.
            Pada tahun 1900, pemerintah Hindia Belanda mulai menata kembali sistem pendidikan yang sudah ada. Merekan mendrikan sekolah sekolah yang bertujuan untuk melahirkan para birokrat (tenaga pemerintah) yang dapat bekerja pada pemerintahan Belanda. Sekolah tersebut disebut Hootden School(Sekolah Pangreh Praja),yang kemudian diubah menjadi OSVIA (Opleiding School Voor Inlandische Amntenaren). Sekolah lainnya adalah STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandische Arsten).Sekolah ini, diperuntukan bagi rakyat Indonesia yang ingin menjadi dokter. Selain itu, ada juga aekolah yang melahirkan para guru, yaitu Kweek School.          Pada tahun 1892-1893 mulai didirikan sekolah sekolah tingakat dasar seperti Certse Klasse ( Sekolah Kelas Satu), yang kemudian diubah namanya pada tahun 1914 menjadi HIS (Holandsch Indische Scholen ).Sekolah tersebut diperuntukan bagi anak priyayi pribumi, yang menggunakan sistem pendidikan model eropa.Setelah lulus dari HIS, dapat diteruskan ke MULO(Meer Uitgebretd Layer Onderwijs)yang didirikan pada tahun 1914. Dari MULO, merekan dapat melanjutkan ke AMS (Algemeene Middlebare School)yang didirikan tahun 1919. Sekolah tingkat dasar lainnya adalah Tweede Klasse(Sekolah Kelas Dua) yang diperuntukan bagi rakyat biasa dengan menggunakan bahasa pengatar daerah atau bahasa Melayu.
            Pendidikan di HIS,MULO, dan AMS sangat dibatasi, yaitu hanya dikhususkan bagi para priyayi. Oleh karena itu, yang dapat meneruskan ke perguruan negeri Belanda pun sangat sedikit sekali, yaitu sekitar 36 orang. Tetapi, sejak 1920, Belanda mulai memberikan kebebasan kepada semua rakyat Indonesia untuk masuk ke sekolah mana saja dengan syarat memeliki biaya.
            Pada tahun 1920, Belanda membangun sekolah baru bernama Technische Hooge School(Sekolah Tinggi Tehnik, sekarang ITB) di Bandung. Selanjutnya pada tahun 1924, didirikan pula Rechts Kundige Hooge School(Sekolah Tinggi Hakim) di Batavia. Sedangkan pada tahun1927, STOVIA diubah menjadi Geenes Kundige Hoog school(Sekolah tinggi kedokteran). Selain sekolah sekolah tersebut di atas, ada juga sekolah kejuruan, seperti: tehnik, pertanian, peternakan, dan sebagainya.
            Politik etis yang diselenggarakan oleh Belanda tidak semata mata untuk menyejahterakan dan mencerdaskan rakyat Indonesia. Namun tujuan sebenarnya dari pendidikan yang mereka selenggarakan adalah agar mereka mendapat tenaga kerja yang murah dan terampil, yang dapat mendukung kekuasaanya di Indonesia.
            Sesuatu terjadi di luar dugaan Belanda. Pendidikan yang merka berikan untuk rakyat Indonesia ternyata secara tidak langsung telah melahirkan golongan terpelajar yang merupakan pelopor pergerakan nasional. Kaum pribumi yang dapat mengenyam pendidikan sampai ke tingkat yang lebih tinggi sangat sedikit, namun mereka berhasil menumbuhkan benih  benih semangat nasionalisme. Kaum pelajar tersebut berubah menjadi elite nasional. Mereka memiliki pandangan yang mantap akan pentingny persatuan Indonesia. Pandangan tersebut dapat mendobrak fanatisme kedaerahan, kesukuan, keetnikan dan keterbelakangan bangsa Indonesia.
            Faktor factor yang mendukung terbentuknya persatuan dan kesatuan bangsa adalah sebagai berikut.

1. Adanya kesadaran dari kaum terpelajar akan pentingnya persatuan demi mencapai cita cita bersama, yakni merdeka atau bebas dari belenggu penjajahan.
2. Agama Islam yang merupakan agama mayoritas rakyat Indonesia, mengajarkan bahwa Jihad Fisabilillahitu wajib dilaksanakan, dengan semboyan hidup mulia atau mati syahid. Suatu kehormatan bagi mereka, jika mereka terpangil untuk jihad. Cita cita itulah yang memperkuat dan mempersatukan mereka dalam misi yang sama, yaitu berjuang untuk mengusir penjajahan.
3. Pendidikan yang mampu menguba cara pandang seseorang. Kemajuan berfikir seseorang yang didapat dari proses pendidikan telah menimbulkan keyakinan baahwa di hadapan Tuhan manusia memiliki harakat dan martabat yang sama. Oleh karena itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
4. Perasaan senasib penduduk tanah jajahan di Asia merupakan semangat pendorong untuk merealisasikan gagasan kemerdekaan. Dengan bercermin pada perjuangan bangsa Asia lainnya yang dijadikan sebagai Negara jajahan dan melakukan perlawanan seperti: perlawanan Filipina atas Spanyol, Perlawanan Turki, Cina, dan India, membuat bangsa Indonesia sadar bahwa untuk dapat mengusir penjajahan mereka harus bersatu. Selama ini yang membuat perlawanan rakyat Indonesia selalu berakhir dengan kegagalan adalah karena mereka tidak bersatu. Para elit nasional menjadi kelompok yang dapat menyampaikan ide idenya tentang persatuan dan kesatuan.
5. Adanya Volksraad(dewan rakyat) yang dibentuk selama perlawanan politik etis. Melalui badan tersebut, kamu pelajar dari seluruh Indonesia dipersatukan, sehingga timbul komunikasi dan kerjasama di antara mereka dalam memikirkan cita cita nasional untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
6. Adanya kaum professional, yaitu mereka yang mempunyai keahlian yang terbentuk berkat pendidikan. Mereka berpendapat bahwa segala bentuk diskriminasi (membeda bedakan antara pribumi dengan orang Belanda), pembagian kelas kelas, dan sebagainya dapat menghambat terbentuknya persatuan untuk mengusir penjajahan. Kelas kelas tersebut sengaja dibuat oleh Belanda uuntuk memecah belah agr mereka menjadi golongan golongan kecil yang tidak berdaya. Namun, kaum nasionalis mampu mendobrak segala bentuk diskriminasitersebut. Mereka berpendapat bahwa untuk mengubah nasib bangsa Indonesia, diperlukan perjuangan di berbagai bidang, baik bidang pendidikan, sosial-ekonomi, pers, maupun politik. Perjuangan tidak dapatdilakukan sendirian, melainkan harus dilakukan bersama sama dengan menciptakan persatuan dan kesatuan.
7. Media netak digunakan untuk membentuk persamaan persepsi di antara rakyat Indonesia. Selain itu, media masa juga diangga lebih efektif sebagai sarana pergerakan dan menyampaikan gagasan dengan cepat, sehingga dalam waktu yang singkat mampu menjangkau daerah yang luas dengan cakupan pembaca yang lebih luas.
8. Adanya kamu pelajar Indonesia yang mengenyam pendidikan di luar negeri. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kamu terpelajar ala-Barat (Belanda) dan kamu terpelajar ala Timur (Mesir). Kaum terpelajar ala-Barat adalah kaum intelek yang dinamis serta terbuka, toleran, dan liberal. Sedangkan, kaum intelek ala-Timur, merupakan kelompok yang bersifat militant, antikolonial, fanatia, dan mengadakan perlawanan frontal dengan mengggunakan senjata.
            Kaum terpelajar yang sekolah di Belanda ternyata tidak menyaksikan kenyataan bahwa kolonialisme Belanda juga ditentang oleh para pelajar dari Belanda sendiri. Mereka menemukan ide ide politik mengenai kebebasan sipil, pemerintahan demokrasi, pemikiran sosialis yang anti kamilatis, yang dijadikan ideologi bagi perjuangan mereka dalam melawan Belanda.
            Sedangkan kaum terpelajar yang sekolah di Mesir lebih memusatkan perhatiannya pada gerakan islam modern sebagai kekuatan untuk mengusir kekafiran Belanda. Karena menurut keyakinan yang mereka dapatkan, bahwa perjuangan mengusir Belanda bukan sekedar melawan penjajahan, melainkan lebih kepada melawan kekafiran.
           
Dengan demikian, meskipun kedua kelompok belajar yang berbeda dari sisi alam dan melihat ke arah perjuangan melawan penjajah, tetapi keduanya memiliki tujuan yang sama, yang menghamburkan penjajah dari Belanda dari bumi Indonesia. Untuk itu, mereka saling mendukung dalam pertempuran melawan Belanda.


2 comments: