Wednesday 1 January 2014

Tanam paksa – sistem dan penyimpangannya.



Tanam paksa – sistem dan penyimpangannya.
Sistem Tanam Paksa dan Penyimpangannya
Setelah kembali menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda dipegang oleh 3 orang komisaris Jenderal yaitu Elout, Vander Capellen dan Buyskes. Keuangan Belanda merosot karena selain kerugian VOC yang harus dibayar juga karena biaya yang amat besar untuk menghdapi perang Diponegoro dan perang Paderi. Di Eropa, Belgia memisahkan diri pada tahun 1830 padahal daerah industri banyak di wilayah Belgia.
Untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut maka diberangkatkanlah Johannes Van den Bosch sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan tugas meningkatkan penerimaan negara untuk mengatasi masalah keuangan
Bagaimana cara Van den Bosch meningkatkan penerimaan negara? Van den Bosch memberlakukan sistem tanam yang kemudian menjadi tanam paksa.
Peraturan tanam paksa yang dikeluarkan Van den Bosch mewajibkan rakyat membayar pajak dalam bentuk hasil pertanian (inatura) khususnya kopi, tebu dan nila. Dengan demikian akan diperoleh barang eksport yang banyak untuk dikirim ke Belanda dan dijual ke Eropa serta Amerika
Ketentuan-ketentuan pokok tanam paksa adalah sebagai berikut :
1.
Penduduk diharuskan menyediakan sebagian tanahnya untuk tanaman yang laku dijual (di eksport) ke Eropa.
2.
Tanah yang dipergunakan tidak melebihi 1/5 tanah yang dimiliki penduduk desa.
3.
Waktu untuk memelihara tanaman tidak melebihi waktu yang diperlukan untuk memelihara tanaman padi.
4.
Bagian tanah yang ditanami tersebut bebas pajak.
5.
Bila hasil bumi melebihi nilai pajak yang harus dibayar rakyat maka kelebihan hasil bumi tersebut diberikan kepada rakyat.
6.
Jika gagal panen yang tidak disebabkan oleh kesalahan petani maka kerugian di tanggung pemerintah
7.
Penduduk yang bukan petani wajib bekerja di kebun, pabrik atau pengangkutan untuk kepentingan Belanda.
Apakah peraturan tanam paksa tersebut dijalankan dengan baik oleh para Bupati, Kepala desa dan pegawai Belanda yang lain? Jika tanam paksa diterapkan sesuai peraturan tidaklah terlalu membebani rakyat. Dalam prakteknya terjadi banyak penyimpangan sehingga rakyat dikorbankan. Mengapa demikian? Karena adanya iming-iming agar para Bupati, Kepala desa serta pegawai Belanda yang bekerja dengan sungguh-sungguh akan diberi perangsang yang disebut Culture procenten yaitu bagian (prosen) dari tanaman yang disetor sebagai bonus selain pendapatan yang biasa mereka terima.
Contoh penyimpangan adalah tanah yang dipakai bisa lebih dari 1/5 bagian, selisih harga tidak diberikan ke petani, kegagalan panen ditanggung petani. Rakyat masih diwajibkan kerja rodi. Dengan penyimpangan tersebut para aparat pemerintah dan Bupati dapat mengumpulkan Cultur procenten yang banyak untuk memperkaya diri di atas penderitaan rakyat. Terjadi kemiskinan, kelaparan dan kematian. Contoh di Cirebon (1844), Demak (1848), Grobogan Purwodari (1849).
Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:
1)      Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka;
2)      Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawa
3)      Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun
4)      Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal manakan harus disediakan sendiri;
5)      Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian;
6)      Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;
7)      Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak
8)      Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksima;
9)      Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.


Sejak VOC dibubarkan tahun 1799, daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda. Kebijakan 'Culture Stelsel' dilaksanakan untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia tanpa mau memperhatikan rakyat Indonesia dibawah pimpinan Van Den Bosch. Secara teoritis, peraturan yang ditetapkan dalam sistem tanam paksa tidak memberatkan. Akan tetapi dalam prakteknya, banyak sekali penyimpangan yang dilakukan dalam sistem ini. Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai berikut:
  1. Dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk 'cultur stelsel' adalah seperlima sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga dan bahkan setengah dari sawah milik pribumi.
  2. Tanah petani yang dipilih hanya tanah yang subur, sedangkan rakyat hanya mendapat tanah yang tidak subur.
  3. Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian.
  4. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
  5. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
  6. Penduduk yang tidak memiliki tanah dipekerjakan di perkebunan Belanda, dengan waktu 3-6 bulan bahkan lebih.
  7. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam, tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
  8. Kerusakan tanaman tetap ditanggung petani.

A. PENYIMPANGAN SISTEM TANAM PAKSA
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
1.      Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada Belanda.
2.      Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.
3.      Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
4.      Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
5.      Bahaya kelaparan dan wabah penyakit timbul di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan yang menimbulkan korban jiwa terjadi di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah penduduknya yang semula 336.000 jiwa turun sampai dengan 120.000 jiwa, di Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa. Demikian pula yang terjadi di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem) merajalela.

tanam paksa
Gambar: Tanam Paksa

Pelaksanaan sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui parlemen di Negeri Belanda.


B. TOKOH-TOKOH PENENTANG TANAM PAKSA
Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai berikut.

1. Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
eduard douwes dekker
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.

2. Baron van Hoevell (1812–1870)
baron van hoevell
Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.







3. Fransen van der Putte (1822-1902)
fransen van der putte
Fransen van der putte yang menulis 'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap kegiatan tanam paksa.











4. Golongan Pengusaha
Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan. Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
  • Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
  • Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
  • Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.

Karena banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berperikemanusiaan tidak hanya di negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal kolonial.


C. DAMPAK TANAM PAKSA
1. Bagi Belanda
  1. Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
  2. Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
  3. Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
  4. Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
  5. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
  6. Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
  7. Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.

2. Bagi Indonesia
  1. Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
  2. Beban pajak yang berat.
  3. Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
  4. Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
  5. Pemaksaan bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
  6. Jumlah penduduk Indonesia menurun.
  7. Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
  8. Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
  9. Memperkenalkan teknoligo multicrops dalam pertanian.


D. PENGARUH SISTEM TANAM PAKSA DI MASYARAKAT
1. Bidang Sosial
  1. Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. (Sartono, 1987: 321).
  2. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri.Penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
  3. Tanam paksa secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
  4. Peranan bahasa melayu dan bahasa daerah dikalangan penguasa.

2. Bidang Ekonomi
  1. Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
  2. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.(Burger, 1977: 18).

Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial.

No comments:

Post a Comment