bentuk-bentuk Penyimpangan Aturan
Tanam Paksa Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa sistem tanam paksa yang
diusung oleh Johannes Van Den Bosch sangat merugikan rakyat Indonesia. Bahkan,
pemerintah Belanda sendiri pun melakukan penyimpangan terhadap aturan tanam
paksa yang berlaku dan hal ini mengakibatkan rakyat Indonesia makin menderita.
Bentuk-bentuk Penyimpangan Aturan Tanam Paksa Adapun bentuk-bentuk penyimpangan
atas aturan tanam paksa adalah sebagai berikut: 1). Pemberlakuan cultuur
procenten, yaitu bonus untuk para pegawai pemerintah Belanda yang mampu
menyerahkan pajak lebih banyak. 2). Para pegawai pemerintah Belanda dapat
mengambil lebih dari 1/5 bagian tanah rakyat dan dapat memilih jenis tanah yang
subur untuk tanaman ekspor. 3). Kewajiban rakyat yang tidak memiliki tanah
untuk bekerja di pabrik atau perkebunan Belanda yang melewati ketentuan. 4).
Pembebanan pajak tanah kepada para petani. 5). Waktu pengerjaan cultuur stelsel
ternyata lebih dari 3 bulan. 6). Tidak ada pengembalian kelebihan hasil
produksi pertanian. 7). Pembebanan kepada para petani atas kerusakan atau
kerugian akibat gagal panen. Oleh sebab itu, akhirnya cultuur stelsel
dihapuskan secara perlahan-lahan karena tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dan
muncullah reaksi pembelaan dari berbagai pihak, termasuk dari rakyat Indonesia
sendiri yang memperjuangkan kemerdekaan mereka.
Sistem
Tanam Paksa
oleh
yulianakuncoro pada Desember 21, 2011
Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel)
1. Latar Belakang Tanam Paksa
a. Motif Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa
(culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam
memperbaiki keuangan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah
dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha Belanda
tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan pihak
Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819, menyebabkan
peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Untuk
kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam
perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama
bagi Belanda.
Selain itu, di negeri Belanda
sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan
kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keruntuhan
keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang
Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam
menghadapi perlawanan dari pihak pribumi.
b. Ciri dan Ketentuan Sistem Tanam
Paksa
Ciri utama dari pelaksanaan sistem
tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk
pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Pada
hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman
wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.
Ketentuan-ketentuan sistem tanam
paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih
kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa. Ketentuan pokok sistem
tanam paksa, antara lain:
- Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagiandari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa;
- Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak;
- Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri;
- Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor;
- Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus;
- Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah;
- Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun;
- Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.
2. Pelaksanaan Sistem
Tanam Paksa
a. Penyimpangan pelaksanaan sistem
tanam paksa
Dalam pelaksanaan sistem tanam
paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan.
Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa
tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:
- Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.
- Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.
- Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
- Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal manakan harus disediakan sendiri.
- Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian.
- Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
- Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak.
- Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
- Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.
b. Luas penanaman dan jenis tanaman
Tanah yang dipergunakan untuk
kepentingan tanam paksa sebenranya tak pernah mencakup seluruh tanah pertanian
yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari
seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipin areal
yang digunakan relative terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh
karakter sistem administrasi kolonial.
Pembagian luas tanah untuk penanaman
paksa menurut jenis tanaman dalam tahun 1833:
Jenis Tanaman
|
Luas Tanah (dalam bahu)
|
Tebu
|
32,722
|
Nila (indigo)
|
22,141
|
Teh
|
324
|
Tembakau
|
286
|
Kayu Manis
|
30
|
Kapas
|
5
|
Jenis tanaman pokok yang harus
ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara lain kopi, tebu, teh, dan
nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport yang
terpenting adalah tebu dan nila (indigo)
a. Faham yang Mendasari
Setelah sistem pajak tanah yang
diberlakukan oleh Raffles, kemudian digantikan oleh sistem taman paksa. Tahun
1830, pemerintah Hindia-Belanda mengankat Gubernur Jenderal baru untuk
Indonesia, yaitu Johanes van Den Bosch. Tugas utamanya untuk meningkatkan
produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung.
Sistem tanam paksa muncul karena
pihak pemerintah Hindia-Belanda mengalami keadaan parah di bidang keuangan, dan
juga budget pemeerintahan Hindia-Belanda dibebabi hutang-hutang yang besar.
Belanda merasa tidak mampu menangtebungi masalah ini sendiri, sehingga muncul
pikiran untuk mencari pemecahan di koloni-koloninya. Salah satunya Indonesia.
Atas dasar itu maka sistem tanam paksa diperkenalkan oleh Van den Bocsh.
Dasarnya sistem tanam paksa, selama
zaman Belanda terkenal dengan nama culturstelsel, berarti pemulihan
sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan
oleh VOC dahulu. Culturstelsel menganut paham konservatif yaitu dalam
pelaksanaannya menggunakan tatanan feodal (menggunakan bantuan orang-orang
lokal). Di mana desa menjadi mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat
bangsa Indonesia, yaitu bupati atau regent (sebutan dari orang-orang Belanda).
Bupati bertanggung jawab kepada pemerintah bangsa Eropa. Paham konservatif
digunakan untuk menggantikan paham liberalisme yang dipandang tidak sesuai
dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa dengan segala ikatan-ikatan
tradisionalnya. Pemerintah tidak sanggup menembusnya langsung berhubungan
dengan rakyat secara perseorangan dan bebas.
Menurut Van den Bosch, paham
konservatif secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah
dan desa dengan melampaui peranan bupati sehingga perantara seperti hal yang
berlaku pada masa VOC. Bupati hanya khusus mengawasi dan menjamin produksi atau
disebut mandor. Sedangkan kepala desa bertanggung jawab untuk memenuhi target
produksi. Bupati dan kepala desa dibayar dengan perhitungan persentase terhadap
penyerahan-penyerahan komoditi pertanian, yang disebut kultur procenten (prosenan
tanaman) yaitu jumlah sebesar prosenan tertentu dari harga hasil tanam paksa
yang terkumpul di wilayahnya.
b. Perangkat pemerintah pelaksana
Salah satu akibat yang penting dari
sistem tanam paksa adalah meluasnya bentuk milik tanah bersama ( milik komunal
). Hal ini disebabkan karena para pegawai pemerintah kolonial cenderung untuk
memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian
yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan
mereka daam menetapkan tugas penanaman-penanaman paksa yang dibebankan pada
tiap desa. Jika para pegawai pemerintah kolonial misalnya harus melakukan
persetujuan-persetujuan yang terpisah dengan tiap-tiap petani yang memiliki
tanah untuk memperoleh seperlima dari tiap-tiap bidang tanah mereka, maka hal
ini sangat mempersulit pekerjaan mereka. Jauh lebih mudah untuk menetapkan
target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan.
Dibanding dengan penyerahan wajib ( contingenteringen
) yang dipaksakan VOC kepada penduduk, maka sistem tanam paksa menaruh beban
yang lebih berat di atas pundak rakyat. Jika selama jaman VOC pelaksanaan
penyerahan wajib diserahkan kepada kepala rakyat sendiri, maka selama sistem
tanam paksa para pegawai Eropa dari pemerintah kolonoial langsung melaksanakan
dan mengawasi penanaman paksa tersebut.
Hal ini sering berarti peningkatan
efisiensi dari sistem tanam paksa, dalam arti kata bahwa hasil produksi tanaman
dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur tangan langsung dari
pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak peningkatan efisiensi ini tentu berarti
menambah beban yang harus dipikul rakyat.
Untuk menjamin bahwa pegawai Belanda
maupun para bupati dan kepala desa menunaikan tugas mereka dengan baik, maka
pemerintah kolonial memberikan perangsang finansial kepada mereka yang terkenal
dengan nama cultuurprocenten, yang diberikan kepada mereka di
samping pendapatan mereka. Cultuurprocenten ini merupakan
presentasi tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan
tanaman-tanaman ekspor tersebut yang diserahkan kepada pegawai Belanda, para
bupati, dan kepala-kepala desa jika mereka berhasil dalam mencapai atau
melampaui target produksi yang dibebankan tiap-tiap desa.
Cara-cara ini tentu menimbulkan
banyak penyelewengan yang sangat menekan dan merugikan rakyat, karena
pegawai-pegawai Belanda, maupun para bupati dan kepala-kepala desa mempunyai
kepentingan mereka masing-masing. Akibat ketentuan ini para pegawai cenderung
menjadi pegawai-pegawai yang buruk, karena tidak lagi menghiraukan rasa
keadilan, mematikan rasa peri kemanusiaan, menempatkan kepentingan pribadi di
atas kepentingan rakyat dan tidak mengindahkan lagi kepentingan penduduk demi
mementingkan kepentingan sendiri.
c. Kedudukan dan pola kerja rakyat
Menurut Van den Bosch, cultuurstelsel
didasarkan atas dasar atas hukum adat yang dinyatakan barang siapa berkuasa
disuatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Sebelum kedatangn Belanda,
raja-raja di nusantara yang berkuasa serta memiliki tanah dan penduduk. Karena
raja-raja di nusantara sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap
dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus
menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada Belanda. Pemerintah kolonial
memanfaatkan para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar
menyerahkan tanah kepada Belanda.
Rencana untuk memeras ekonomi
Indonesia dilakukan dengan kedok agama dan adapt-istiadat rakyat, dan hubungan
dengan pejabat tradisional seperti seperi raja, bupati, wedana maupun lurah.
Kedudukan para pejabat tradisional digunakan oleh Belanda untuk memaksa rakyat
bekerja sesuai dengan kehendak Belanda. Untuk mengatur hubungan kerja tersebut,
maka dibuat perjanjian tentang pengaturan tenaga dan tanaman yang dikehendaki
oleh Belanda. Setiap pejabat tradisional akan mendapat persen dari perjanjian tersebut:
Rakyat patuh pada mereka, sebab mereka punya kharisma karena dan adat.
Guna menjamin agar para bupati dari
kepala desa melaksanakan tugasnya dengan baik, pemerintah colonial memberikan
perangsang yang disebut culture procenten disamping penghasilan tetap.
Cultuur procenten adalah bonus, dalam prosentase tertentu yang diberikan kepada
pegawai Belanda, para bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatau
wilayah mencapai atau melampui target yang dibebankan. Cara-cara ini
menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan dan merugikan rakyat.
Pada tahun 1830-1850 beban yang
harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa. Pemerintah colonial
mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum,(
Rodi untuk pemerintah Belanda) antar lain jalan raya, jembatan, dan waduk.
Disamping itu, rakyat dikerahkan anta lain dalam pembangunan dan pemeliharaan
rumah-rumah pegawai kolonial, mengatar surat dan barang, serta menjaga gudang.
Rakyat yang tidak memiliki tanah dipekerjakan pada perkebunan atau
pabrik-pabrik milik pemerintah selam 65 hari setiap tahun. Mereka juga
ada yang mesti bekerja jauh dari desanya, dan mereka pula harus menyediakan
makanannya sendiri sedang waktu untuk mengerjakan sawahnya habis sehingga persediaan
makanan kurang sekali. Buruh yang seharusnya dibayar oleh oleh pemerintah
dijadikan tenaga paksa, seperi di Rembang, Jawa Tengah. Kalaupun mereka dibayar
mereka hanya dibayar sedikit. Sedangkan pajak atas tanah yang diambil mesti di
bayar terus.
d. Tanaman dan Sistem Perdagangan
Jenis-jenis tanaman yang sangat
dipentingkan ialah kopi, tebu, dan nila (indigo). Teh, tembakau, kayu manis,
lada, ditanam juga. Penanaman lada mencapai pada tahun 1840, yang ditanam ialah
42800 bahu (sebahu 0,7 h.a.). Anak negeri yang bekerja untuk menghasilkan nila
lebih dari 200.000 orang dan yang hasilnkan 2 juta poun, dalam 749 pabrik.
Daerah pertama yang menjadi tempat penanaman nila ialah Parahyangan. Kemudian
Cirebon juga mendapat tugas untuk menanam nila. Tanah menjadi keirng karena
penanaman nila, sehingga lebih baik ditanam tebu. Pada tahun 1839 yang ditanami
tebu 27.000 bahu. Pada tahun 1842 telah naik menjadi 37.000 bahu. Pada tahun
1850 dihasilkan 1.400.000 pikul. Milik pemerintah Hindia-Belanda 1.000.000
pikul seharga f 10.000.000, selebihnya dihasilkan di tanah-tanah partikulir dan
di Surakarta serta Yogyakarta. Kopi makin bnayak laku di Eropa dank arena itu
penanaman kopi diperluas. Dalam musim 1834-1835 ditanam 25.600.000 pohon kopi
diseluruh Jawa dan dalam musim 1835-1836 ditanam 29.200.000. Pohon-pohon itu
ditanam oleh anak negeri dengan tidak memperoleh bayaran dan mereka juga
memelihara dengan tidak mendapat upah jerih. Hasilnya jauh di bawah buahnya,
karena kekurangan tangan. Semenjak tahun 1840 dihasilkan lebih kurang 1.000.000
pikul setahun.
Telah diterangkan sebelumnya bahwa
tanamn-tanaman yang wajib ditanamjuga selain kopi, tebu, dan nila, juga
terdapat tanaman lain, yaitu teh. Dalam penanaman ini teh tidak seberapa
untungnya. Pada tahun 1839 ada 8.000.000 rumpun teh. Enam tahun kemudian
20.000.000 rumpun. Hasil yang diperoleh 900.000 pound. Hasil dari cochenille
(bahan warna merah dari semacam serangga) tidak lebih dari 81.00 pound ditahun
1850, kayu manis yang pada mulanya hanya ditanam di Krawang, jua ditanam di
daerah-daerah lain. Pada tahun 1840 ada 1.700.000 pohon. Yang mengerjakannya
7000 keluarga. Pada tahun 1850, 10.000 keluarga. Mereka menghasilkan 200.000
pound. Penanaman tembakau dimulai di Rembang, Kedu, Pasuruan, dan Banyuwangi.
Jumlah kebun tembakau menjadi 37, luasnya 4000 bahu. Keluarga yang bekerja di
situ 37.000.
Sistem tanam paksa yang kejam ini,
setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya
dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus
berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah
sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Kritik
Berkas:Wolter Robert van
Hoevel.gif|right|thumb|Wolter Robert baron van Hoëvell, pejuang Politk Etis
Serangan-serangan dari orang-orang
non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang
terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan, Demak, Cirebon. Gejala kelaparan
ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan
eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang
humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari
bidang sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik
muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van
Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Kritik kaum liberal
Usaha kaum liberal di negeri Belanda
agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan
diberlakukannya UU Agraria, ”Agrarische Wet”. Namun tujuan yang hendak dicapai
oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka
mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberalisme|liberal di
negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan
yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di
negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur
tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi
ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung
warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan
serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan
perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan
jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet,
teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu
dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Kritik kaum humanis
Kondisi kemiskinan dan penindasan
sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis
Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker
mengarang buku ”Max Havelaar” (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan
nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani
yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang anggota Raad van Indie, C.
Th van Deventer membuat tulisan berjudul ”Een Eereschuld”, yang membeberkan
kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah
”De Gids” yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada
Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya.
Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
5. Dampak
Keuntungan
Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda sistem tanam paksa
sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu
mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang
kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot)
di Jawa.
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern.
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern.
Untuk pemerintah colonial, sistem
tanam paksa telah membawa keuntungan berupa: 11, 3 juta gulden pada tahun 1830.
Kemudian keuntungan tersebut meningkat 66, 1 juta gulden pada 1831. Menurut
Burger, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan (batig slot) yang diambil dari
Jawa sejak 823 juta gulden. Dengan modal sedemikian, Belanda mempunyai cukup
modal untuk membayar lunas semua hutang VOC dan merombak perekonomian nasional
mereka untuk menyalurkan kredit dalam rangka menumbuhkan pengusaha swasta
nasional mereka. Bahkan, pada tahun 1851-1860 Hindia Belanda menyumbang 30
persen dari total pendapatan negeri Belanda (Simarmata:2002).
Akibat Tanam Paksa Pada Masyarakat Jawa
Akibat Tanam Paksa Pada Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa keuntungan
besar yang dinikmati oleh Belanda adalah malapetaka besar. Bahkan, sistem tanam
paksa tetap meninggalkan bekas-bekasnya sosial yang mendalam hingga saat ini.
Kemiskinan yang mendalam dan akut dialami oleh rakyat Jawa. Di Semarang,
Cirebon dan Demak dilaporkan sepanjang 1849-1850 terjadi bencana kelaparan
hebat yang telah mengakibatkan 200.000 korban meninggal atau terpaksa pindah
ketempat lain.
Namun, beberapa akibat sosial tanam paksa adalah:
Namun, beberapa akibat sosial tanam paksa adalah:
- Pengambil alihan tanah sikep menjadi milik desa dan membagikan tanah-tanah sikep kepada para numpang dan bujang tersebut telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka.
- Kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga.
- Sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter.
- Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya.
- Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri.
- Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
- Beban pajak yang berat
- Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
- Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
- Jumlah penduduk Indonesia menurun.
- Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru,
- Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
- Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah sikep dan numpang. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel.
Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel)
1. Latar Belakang Tanam Paksa
a. Motif Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa
(culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam
memperbaiki keungan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah
dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha
Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan
pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819,
menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia
Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi
dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan
utama bagi Belanda.
Selain itu, di negeri Belanda
sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan
kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keruntuhan
keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang
Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam
menghadapi perlawanan dari pihak pribumi.
b. Ciri dan Ketentuan Sistem Tanam
Paksa
Ciri utama dari pelaksanaan sistem
tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk
pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.[2]
Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem
penanaman wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.
Ketentuan-ketentuan sistem tanam
paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih
kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa.[3]
Ketentuan pokok sistem tanam paksa, antara lain:
1)
Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagiandari tanah sawahnya untuk
ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila.
Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa;
2)
Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari
pajak;
3)
Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya
pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri;
4)
Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang..
Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh
rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini
bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman
ekspor;
5)
Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada
yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang
bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada
tenaga yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus;
6)
Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau
kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah;
7)
Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan
milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun;
8)
Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak
pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.
2. Pelaksanaan Sistem
Tanam Paksa
a. Penyimpangan pelaksanaan sistem
tanam paksa
Dalam pelaksanaan sistem tanam
paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan.
Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa
tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:
1)
Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam
pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan
pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa
rakyat agar menyerahkan tanah mereka;
2) Di
dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah
seperlia sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah,
yaitu sepertiga atau setengah sawah.[4]
3)
Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh
melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari
dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam
setahun;[5]
4)
Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya,
padahal manakan harus disediakan sendiri;
5)
Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak
sesuai dengan perjanjian;
6)
Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi
dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;
7)
Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para
pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih
banyak;[6]
8)
Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri.
Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit
sehingga hasilnya kurang maksima;
9)
Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.
b. Luas penanaman dan jenis tanaman
Tanah yang dipergunakan untuk kepentingan
tanam paksa sebenranya tak pernah mencakup seluruh tanah pertanian yang ada di
Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari seluruh tanah
pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipin areal yang
digunakan relative terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh
karakter sistem administrasi kolonial.
Jenis Tanaman
|
Luas Tanah (dalam bahu)
|
Tebu
|
32,722
|
Nila (indigo)
|
22,141
|
Teh
|
324
|
Tembakau
|
286
|
Kayu Manis
|
30
|
Kapas
|
5
|
Jenis tanaman pokok yang harus
ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara lain kopi, tebu, teh, dan
nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport yang
terpenting adalah tebu dan nila (indigo)
3. Penghapusan Sistem Tanam
Paksa
Dampak Sistem Tanam Paksa
Jika kita melihat dampak tanam paksa
yang dijalankan oleh Van den Bosc, maka pihak Belandalah yang mendapatkan
dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan yang diterima oleh
bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan hidup. Namun
dari sekian bnayak dampak negatif, masih terdapat dampak postif yang dirasakan
oleh bangsa Indonesia meskipun hal tersebut terlalu dipaksakan.
1). Bagi Belanda
- Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa;
- Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan;
- Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
2). Bagi Indonesia
- Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan;
- Beban pajak yang berat
- Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen;
- Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana;
- Jumlah penduduk Indonesia menurun;
- Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru;
- Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
Sistem Tanam Paksa
Posted on 13 Februari 2012by liulinuha
Setelah dua gubernur jendral Belanda gagal memimpin
Indonesia untuk menutup kekosongan kas negara, muncul sebuah usulan dari tokoh
Belanda bernama Van Den Bosch. Mengusulkan sistem baru yang dapat mengisi dan
menambah kas Negara Belanda dalam waktu yang relatif singkat.Sehingga, tahun 1830 Van Den Bosch diangkat menjadi gubernur jendral di Indonesia. Sistem yang diberikan oleh Van Den Bosch ialah cultuurstelsel atau tanam paksa.
Ia menghapus sistem sewa tanah dan pembayaran pajak melalui uang. Menerapkan sistem tanam wajib dengan jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Membayar pajak melalui setoran tanaman.
Tahun 1834, dikeluarkannya UU yang membahas tentang peraturan sistem tanam paksa ini. Isi ketentuan tersebut ialah :
1. Persetujuan dengan penduduk untuk menanam sebaian tanahnya dengan tanaman yang dijual di pasaran ekspor Eropa
2. Tanah untuk ditanam tanaman wajib seluas 1/5 dari tanah pemilik.
3. Lahan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pajak tanah
4. Pekerjaan menanam perdagangan tidak melebihi pekerjaan untuk menanam tanaman pangan
5. Jika hasil tanaman perdagangan ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar, selisihnya diserahkan ke rakyat.
6. Jika ada gagal panen pada tanaman wajib, maka dibebankan kepada pemerintah. Kecuali jika kegagalan diakibatkan kemalasan rakyat.
7. Penggarapan tanah diawasi langsung oleh kepala pribumi dan pegawai Eropa hanya mengawasi pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan hasil.
Jika diperhatikan, sistem tanam paksa ini sudah bagus dan kelihatan tidak menekan rakyat. Tapi pada kenyataannya, banyak penyimpangan-penyimpangan yang muncul yang menyebabkan sengsaranya rakyat Indonesia. Banyak kemiskinan dan kematian akibat kelaparan. Penyimpangan-penyimpangan itu ternyata bukan hanya dilakukan oleh orang Belanda saja, namun juga pribumi.
Belanda, dalam pelaksanaan sistem tanam paksa itu, menempatkan orang-orang pribumi dalam jajaran pemerintah. Mereka menjadi pegawai yang mengawasi sistem pelaksanaan tanam paksa tersebut. Contoh penyimpangan yang dilakukan pribumi ialah pemaksaan penanaman melebihi seperlima luas tanah. Karena, jika suatu daerah itu menyetor tanaman melebihi yang diwajibkan maka daerah tersebut akan mendapat premi atau bonus.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada tanam paksa antara lain penggunaan tanah untuk tanaman ekspor melebihi seperlima, sehingga padi ditanam di sisa tanah yang kurang subur.
Juga kegagalan panen yang seharusnya dibebankan kepada pemerintah, malah dibebankan kepada petani sehingga petani harus membayar kerugian dalam jumlah yang besar. Lahan tanah untuk tanaman wajib, yang seharusnya tidak dikenakan pajak, malah dibebankan pajak.
Untuk rakyat yang tidak memiliki tanah, dikenakan kerja wajib. Tapi pada pelaksanaannya, kerja wajib tersebut melebihi jam wajib yang ditentukan. Dan rakyat yang mengerjakan tanah, mencurahkan perhatian pada perawatan tanaman wajib, sehingga untuk perawatan tanaman pangan tidak mendapatkan perhatian yang cukup.
Banyak dampak yang muncul dengan adanya tanam paksa ini. Dampak terbesar yang dirasakan oleh Belanda ialah terpenuhinya hutang-hutang dan terpenuhinya kas negara. Sedangkan untuk Indonesia, dampak yang paling terasa ialah kelaparan dan kemiskinan bahkan kematian-kematian.
latar belakang tanam paksa
Tanam paksa 1
1.
Sistem tanam paksa yang dicetuskan Van Den Bosch
berlangsung pada tahun….
a.
1806-1810
b.
1811-1816
c.
1816-1824
d.
1830-1870
e.
1868-1885
2.
Sistem tanam paksa yang diusulkan Van Den Bosch di
dorong oleh hal-hal sebagai berikut, kecuali…
a.
Kas negara yang kosong
b.
Keinginan para bupati untuk
mendapatkan culture procenten
c.
Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak
d.
Hutang luar negeri yang berat
e.
Perang yang memakan biaya besar
3.
Pelaksanaan tanam paksa sangat membertakan rakyat bila
dibandingkan denan aturannya. Hal itu disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut,
kecuali….
a.
Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari
seperlima tanah mereka
b.
Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor sering kali jauh
melebihi pengerjaan tanaman padi sehingga tanah pertanian mereka sendiri
terbengkalai
c.
Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan
untuk proyek tanam paksa
d.
Kelebihan hasil panen setelah
diperhitungkan dengan pajak dikmbalikan pada petani
e.
Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani
4.
Sebenarnya sistem tanam paksa merupakan kelanjutan dari
praktik pemerasan yang pernah dilakukan oleh Daendels sebelumnya, yaitu …..
a.
kerja rodi
b.
Hongi tochten
c.
Prianger stelsel
d.
contingenten
e.
verplichteleverantie
5.
buku karya multatuli yang berisi tentang kisah saijah
dan adinda, petani yang jadi korban tanam paksa di lebak, banten berjudul…
a.
Max havelar
b.
Eure schuld
c.
Al ik Nederlander Was
d.
From Dark to light
e.
Indonesia mengguat
6.
Mengapa Van Den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa
di Jawa
a. Di Eropa,
Belanda terlibat dalam perang pada masa kejayaan Napoleon sehingga menghabiskan
biaya yang besar.
b. terjadinya perang kemerdekaan Belgia
yang diakhiri dengan pemisahan Belgia drai Belanda pada tahun 1830
c. terjadi perang diponegoro (1825-1830)
yang merupakan perlaawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda .
Perang Diponegoro menghabiskan biaya kurang lebih 20 juta gulden
d. kas negara Belanda yang kosong dan utang
yang ditanggung Belanda cukup berat
e. pemasukan uang dari pnanaman kopi tidak
banyak
f. kegagalan mempraktikan gagasan liberal
(1816-1830) dalam mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan
keuntungan yang besar terhadap negeri induk
7.
Sebutkan ciri sistem tanam paksa di Jawa
ciri utama tanam
paksa keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dlm bentuk ak in natura, yitu
dlam bentuk hasl-hasil pertanian mereka
8.
Jelaskan keentuan-ketentuan tanam paksa
a. rakyat
menyerahkan seperlima dari tanahny untuk ditanami tanaman yang dapat di ekspor
di dunia
b. tanah tersebut bebas pajak
c. pekerjaan mengerjakan tanman tidak boleh
melebihi waktu penanaman
d. kegagalan panen ditanggung pemerintah
e. kelebihan hasil panen akan dikembalikan
pada rakyat
f. terdapat pembagian tugas
penduduk yang tidak mempunyai tanah
dipkerjkan selama 65 hari dalam setahun
f.
pelaksanaan tanam paksa dilaksanakan pihak pribumi dan
pihak Eropa sebagai pengawas
9.
Jelaskan penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan sistem
tanam paksa
10. a. pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat lokal seperti
bupati dan kepala desa untuk memaksa rakyt mennam tanahnya
11. b. tanah yang digunakan lebih dari seprlima
12. c. waktu pengerjaan lebih dari masa penanaman padi
13. d. kegagalan panen ditanggung oleh petani
14. e. tanah yang ditanami tetap diknai pajak
15. f. kelebihan hasil harus dijual kpada pemerintah dengan harga
yang tlh ditentukan
16. g. Adanya culture procentase tanaman pemerintah harus didahulukan
daripada tanaman sendiri
17.
Mengapa terjadi penyimpangan dalam pelasanaan sistem
tanam paksa.
Penyebab
penyimpangan tanam paksa adalah gaji bupati yang rendah sehingga bupati
mencari penghasilan tambahan, selain itu akibat dari perang Diponegoro
yang membuat rakyat patuh terhadap pejabat daerah. Perubahan dari sistem
sentraisas menjadi desentralisasi.
No comments:
Post a Comment