Wednesday, 1 January 2014

Sistem Tanam Paksa



bentuk-bentuk Penyimpangan Aturan Tanam Paksa Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa sistem tanam paksa yang diusung oleh Johannes Van Den Bosch sangat merugikan rakyat Indonesia. Bahkan, pemerintah Belanda sendiri pun melakukan penyimpangan terhadap aturan tanam paksa yang berlaku dan hal ini mengakibatkan rakyat Indonesia makin menderita. Bentuk-bentuk Penyimpangan Aturan Tanam Paksa Adapun bentuk-bentuk penyimpangan atas aturan tanam paksa adalah sebagai berikut: 1). Pemberlakuan cultuur procenten, yaitu bonus untuk para pegawai pemerintah Belanda yang mampu menyerahkan pajak lebih banyak. 2). Para pegawai pemerintah Belanda dapat mengambil lebih dari 1/5 bagian tanah rakyat dan dapat memilih jenis tanah yang subur untuk tanaman ekspor. 3). Kewajiban rakyat yang tidak memiliki tanah untuk bekerja di pabrik atau perkebunan Belanda yang melewati ketentuan. 4). Pembebanan pajak tanah kepada para petani. 5). Waktu pengerjaan cultuur stelsel ternyata lebih dari 3 bulan. 6). Tidak ada pengembalian kelebihan hasil produksi pertanian. 7). Pembebanan kepada para petani atas kerusakan atau kerugian akibat gagal panen. Oleh sebab itu, akhirnya cultuur stelsel dihapuskan secara perlahan-lahan karena tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dan muncullah reaksi pembelaan dari berbagai pihak, termasuk dari rakyat Indonesia sendiri yang memperjuangkan kemerdekaan mereka.



Sistem Tanam Paksa
oleh yulianakuncoro pada Desember 21, 2011
Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel)
1.   Latar Belakang Tanam Paksa
a. Motif Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa (culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam memperbaiki keuangan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819, menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.
Selain itu, di negeri Belanda sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keruntuhan keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi.
b. Ciri dan Ketentuan Sistem Tanam Paksa
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.
Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa. Ketentuan pokok sistem tanam paksa, antara lain:
  1. Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagiandari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa;
  2. Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak;
  3. Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri;
  4. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor;
  5. Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus;
  6. Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah;
  7. Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun;
  8. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.
2.   Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
a. Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa
Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:
  1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.
  2. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.
  3. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
  4. Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal manakan harus disediakan sendiri.
  5. Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian.
  6. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
  7. Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak.
  8. Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksimal.
  9. Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.
b. Luas penanaman dan jenis tanaman
Tanah yang dipergunakan untuk kepentingan tanam paksa sebenranya tak pernah mencakup seluruh tanah pertanian yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipin areal yang digunakan relative terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh karakter sistem administrasi kolonial.
Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanaman dalam tahun 1833:
 Jenis Tanaman
Luas Tanah (dalam bahu)
Tebu
32,722
Nila (indigo)
22,141
Teh
324
Tembakau
286
Kayu Manis
30
Kapas
5

Jenis tanaman pokok yang harus ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara lain kopi, tebu, teh, dan nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport yang terpenting adalah tebu dan nila (indigo)
a. Faham yang Mendasari
Setelah sistem pajak tanah yang diberlakukan oleh Raffles, kemudian digantikan oleh sistem taman paksa. Tahun 1830, pemerintah Hindia-Belanda mengankat Gubernur Jenderal baru untuk Indonesia, yaitu Johanes van Den Bosch. Tugas utamanya untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung.
Sistem tanam paksa muncul karena pihak pemerintah Hindia-Belanda mengalami keadaan parah di bidang keuangan, dan juga budget pemeerintahan Hindia-Belanda dibebabi hutang-hutang yang besar. Belanda merasa tidak mampu menangtebungi masalah ini sendiri, sehingga muncul pikiran untuk mencari pemecahan di koloni-koloninya. Salah satunya Indonesia. Atas dasar itu maka sistem tanam paksa diperkenalkan oleh Van den Bocsh.
Dasarnya sistem tanam paksa, selama zaman Belanda terkenal dengan nama culturstelsel, berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Culturstelsel menganut paham konservatif yaitu dalam pelaksanaannya menggunakan tatanan feodal (menggunakan bantuan orang-orang lokal). Di mana desa menjadi mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia, yaitu bupati atau regent (sebutan dari orang-orang Belanda). Bupati bertanggung jawab kepada pemerintah bangsa Eropa. Paham konservatif digunakan untuk menggantikan paham liberalisme yang dipandang tidak sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa dengan segala ikatan-ikatan tradisionalnya. Pemerintah tidak sanggup menembusnya langsung berhubungan dengan rakyat secara perseorangan dan bebas.
Menurut Van den Bosch, paham konservatif secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa dengan melampaui peranan bupati sehingga perantara seperti hal yang berlaku pada masa VOC. Bupati hanya khusus mengawasi dan menjamin produksi atau disebut mandor. Sedangkan kepala desa bertanggung jawab untuk memenuhi target produksi. Bupati dan kepala desa dibayar dengan perhitungan persentase terhadap penyerahan-penyerahan komoditi pertanian, yang disebut kultur procenten (prosenan tanaman) yaitu jumlah sebesar prosenan tertentu dari harga hasil tanam paksa yang terkumpul di wilayahnya.
b. Perangkat pemerintah pelaksana
Salah satu akibat yang penting dari sistem tanam paksa adalah meluasnya bentuk milik tanah bersama ( milik komunal ). Hal ini disebabkan karena para pegawai pemerintah kolonial cenderung untuk memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka daam menetapkan tugas penanaman-penanaman paksa yang dibebankan pada tiap desa. Jika para pegawai pemerintah kolonial misalnya harus melakukan persetujuan-persetujuan yang terpisah dengan tiap-tiap petani yang memiliki tanah untuk memperoleh seperlima dari tiap-tiap bidang tanah mereka, maka hal ini sangat mempersulit pekerjaan mereka. Jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan.
Dibanding dengan penyerahan wajib ( contingenteringen ) yang dipaksakan VOC kepada penduduk, maka sistem tanam paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak rakyat. Jika selama jaman VOC pelaksanaan penyerahan wajib diserahkan kepada kepala rakyat sendiri, maka selama sistem tanam paksa para pegawai Eropa dari pemerintah kolonoial langsung melaksanakan dan mengawasi penanaman paksa tersebut.
Hal ini sering berarti peningkatan efisiensi dari sistem tanam paksa, dalam arti kata bahwa hasil produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak peningkatan efisiensi ini tentu berarti menambah beban yang harus dipikul rakyat.
Untuk menjamin bahwa pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa menunaikan tugas mereka dengan baik, maka pemerintah kolonial memberikan perangsang finansial kepada mereka yang terkenal dengan nama cultuurprocenten, yang diberikan kepada mereka di samping  pendapatan mereka. Cultuurprocenten ini merupakan presentasi tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut yang diserahkan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala-kepala desa jika mereka berhasil dalam mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan tiap-tiap desa.
Cara-cara ini tentu menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan merugikan rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda, maupun para bupati dan kepala-kepala desa mempunyai kepentingan mereka masing-masing. Akibat ketentuan ini para pegawai cenderung menjadi pegawai-pegawai yang buruk, karena tidak lagi menghiraukan rasa keadilan, mematikan rasa peri kemanusiaan, menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat dan tidak mengindahkan lagi kepentingan penduduk demi mementingkan kepentingan sendiri.
c. Kedudukan dan pola kerja rakyat
Menurut Van den Bosch, cultuurstelsel didasarkan atas dasar atas hukum adat yang dinyatakan barang siapa berkuasa disuatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Sebelum kedatangn Belanda, raja-raja di nusantara yang berkuasa serta memiliki tanah dan penduduk. Karena raja-raja di nusantara sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada Belanda. Pemerintah kolonial memanfaatkan para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah kepada Belanda.
Rencana untuk memeras ekonomi Indonesia dilakukan dengan kedok agama dan adapt-istiadat rakyat, dan hubungan dengan pejabat tradisional seperti seperi raja, bupati, wedana maupun lurah. Kedudukan para pejabat tradisional digunakan oleh Belanda untuk memaksa rakyat bekerja sesuai dengan kehendak Belanda. Untuk mengatur hubungan kerja tersebut, maka dibuat perjanjian tentang pengaturan tenaga dan tanaman yang dikehendaki oleh Belanda. Setiap pejabat tradisional akan mendapat persen dari perjanjian tersebut: Rakyat patuh pada mereka, sebab mereka punya kharisma karena dan adat.
Guna menjamin agar para bupati dari kepala desa melaksanakan tugasnya dengan baik, pemerintah colonial memberikan perangsang yang disebut culture procenten disamping penghasilan tetap.  Cultuur procenten adalah bonus, dalam prosentase tertentu yang diberikan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatau wilayah mencapai atau melampui target yang dibebankan. Cara-cara ini menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan dan merugikan rakyat.
Pada tahun 1830-1850 beban yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa. Pemerintah colonial mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum,( Rodi untuk pemerintah Belanda) antar lain jalan raya, jembatan, dan waduk. Disamping itu, rakyat dikerahkan anta lain dalam pembangunan dan pemeliharaan rumah-rumah pegawai kolonial, mengatar surat dan barang, serta menjaga gudang. Rakyat yang tidak memiliki tanah dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah  selam 65 hari setiap tahun. Mereka juga ada yang mesti bekerja jauh dari desanya, dan mereka pula harus menyediakan makanannya sendiri sedang waktu untuk mengerjakan sawahnya habis sehingga persediaan makanan kurang sekali. Buruh yang seharusnya dibayar oleh oleh pemerintah dijadikan tenaga paksa, seperi di Rembang, Jawa Tengah. Kalaupun mereka dibayar mereka hanya dibayar sedikit. Sedangkan pajak atas tanah yang diambil mesti di bayar terus.
d. Tanaman dan Sistem Perdagangan
Jenis-jenis tanaman yang sangat dipentingkan ialah kopi, tebu, dan nila (indigo). Teh, tembakau, kayu manis, lada, ditanam juga. Penanaman lada mencapai pada tahun 1840, yang ditanam ialah 42800 bahu (sebahu 0,7 h.a.). Anak negeri yang bekerja untuk menghasilkan nila lebih dari 200.000 orang dan yang hasilnkan 2 juta poun, dalam 749 pabrik. Daerah pertama yang menjadi tempat penanaman nila ialah Parahyangan. Kemudian Cirebon juga mendapat tugas untuk menanam nila. Tanah menjadi keirng karena penanaman nila, sehingga lebih baik ditanam tebu. Pada tahun 1839 yang ditanami tebu 27.000 bahu. Pada tahun 1842 telah naik menjadi 37.000 bahu. Pada tahun 1850 dihasilkan 1.400.000 pikul. Milik pemerintah Hindia-Belanda 1.000.000 pikul seharga f 10.000.000, selebihnya dihasilkan di tanah-tanah partikulir dan di Surakarta serta Yogyakarta. Kopi makin bnayak laku di Eropa dank arena itu penanaman kopi diperluas. Dalam musim 1834-1835 ditanam 25.600.000 pohon kopi diseluruh Jawa dan dalam musim 1835-1836 ditanam 29.200.000. Pohon-pohon itu ditanam oleh anak negeri dengan tidak memperoleh bayaran dan mereka juga memelihara dengan tidak mendapat upah jerih. Hasilnya jauh di bawah buahnya, karena kekurangan tangan. Semenjak tahun 1840 dihasilkan lebih kurang 1.000.000 pikul setahun.
Telah diterangkan sebelumnya bahwa tanamn-tanaman yang wajib ditanamjuga selain kopi, tebu, dan nila, juga terdapat tanaman lain, yaitu teh. Dalam penanaman ini teh tidak seberapa untungnya. Pada tahun 1839 ada 8.000.000 rumpun teh. Enam tahun kemudian 20.000.000 rumpun. Hasil yang diperoleh 900.000 pound. Hasil dari cochenille (bahan warna merah dari semacam serangga) tidak lebih dari 81.00 pound ditahun 1850, kayu manis yang pada mulanya hanya ditanam di Krawang, jua ditanam di daerah-daerah lain. Pada tahun 1840 ada 1.700.000 pohon. Yang mengerjakannya 7000 keluarga. Pada tahun 1850, 10.000 keluarga. Mereka menghasilkan 200.000 pound. Penanaman tembakau dimulai di Rembang, Kedu, Pasuruan, dan Banyuwangi. Jumlah kebun tembakau menjadi 37, luasnya 4000 bahu. Keluarga yang bekerja di situ 37.000.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Kritik
Berkas:Wolter Robert van Hoevel.gif|right|thumb|Wolter Robert baron van Hoëvell, pejuang Politk Etis
Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan, Demak, Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Kritik kaum liberal
Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, ”Agrarische Wet”. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberalisme|liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Kritik kaum humanis
Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku ”Max Havelaar” (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.

Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul ”Een Eereschuld”, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah ”De Gids” yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
5. Dampak
Keuntungan Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa.
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern.
Untuk pemerintah colonial, sistem tanam paksa telah membawa keuntungan berupa: 11, 3 juta gulden pada tahun 1830. Kemudian keuntungan tersebut meningkat 66, 1 juta gulden pada 1831. Menurut Burger, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan (batig slot) yang diambil dari Jawa sejak 823 juta gulden. Dengan modal sedemikian, Belanda mempunyai cukup modal untuk membayar lunas semua hutang VOC dan merombak perekonomian nasional mereka untuk menyalurkan kredit dalam rangka menumbuhkan pengusaha swasta nasional mereka. Bahkan, pada tahun 1851-1860 Hindia Belanda menyumbang 30 persen dari total pendapatan negeri Belanda (Simarmata:2002).
Akibat Tanam Paksa Pada Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa keuntungan besar yang dinikmati oleh Belanda adalah malapetaka besar. Bahkan, sistem tanam paksa tetap meninggalkan bekas-bekasnya sosial yang mendalam hingga saat ini. Kemiskinan yang mendalam dan akut dialami oleh rakyat Jawa. Di Semarang, Cirebon dan Demak dilaporkan sepanjang 1849-1850 terjadi bencana kelaparan hebat yang telah mengakibatkan 200.000 korban meninggal atau terpaksa pindah ketempat lain.
Namun, beberapa akibat sosial tanam paksa adalah:
  1. Pengambil alihan tanah sikep menjadi milik desa dan membagikan tanah-tanah sikep kepada para numpang dan bujang tersebut telah melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka.
  2. Kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk menurunkan beban kerja keluarga.
  3. Sementara itu, secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter.
  4. Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya.
  5. Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri.
  6. Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
  7. Beban pajak yang berat
  8. Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
  9. Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
  10. Jumlah penduduk Indonesia menurun.
  11. Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru,
  12. Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
  13. Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah menggantikan istilah sikep dan numpang. Sebab, semua pemilik tanah wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel.


Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel)
1.   Latar Belakang Tanam Paksa
a. Motif Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa (culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam memperbaiki keungan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819, menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.
Selain itu, di negeri Belanda sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keruntuhan keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi.

b. Ciri dan Ketentuan Sistem Tanam Paksa
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.[2] Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.
Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa.[3] Ketentuan pokok sistem tanam paksa, antara lain:
1)      Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagiandari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa;
2)      Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak;
3)      Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri;
4)      Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor;
5)      Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus;
6)      Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah;
7)      Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun;
8)      Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.

2.   Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
a. Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa
Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:
1)      Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka;
2)      Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.[4]
3)      Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun;[5]
4)      Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal manakan harus disediakan sendiri;
5)      Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian;
6)      Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;
7)      Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak;[6]
8)      Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksima;
9)      Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.

b. Luas penanaman dan jenis tanaman
Tanah yang dipergunakan untuk kepentingan tanam paksa sebenranya tak pernah mencakup seluruh tanah pertanian yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipin areal yang digunakan relative terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh karakter sistem administrasi kolonial.
Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanaman dalam tahun 1833[7]:


Jenis Tanaman
Luas Tanah (dalam bahu)
Tebu
32,722
Nila (indigo)
22,141
Teh
324
Tembakau
286
Kayu Manis
30
Kapas
5

Jenis tanaman pokok yang harus ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara lain kopi, tebu, teh, dan nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport yang terpenting adalah tebu dan nila (indigo)

3.   Penghapusan Sistem Tanam Paksa
Dampak Sistem Tanam Paksa
Jika kita melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosc, maka pihak Belandalah yang mendapatkan dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan yang diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan hidup. Namun dari sekian bnayak dampak negatif, masih terdapat dampak postif yang dirasakan oleh bangsa Indonesia meskipun hal tersebut terlalu dipaksakan.
1). Bagi Belanda
  • Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa;
  • Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan;
  • Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.

2). Bagi Indonesia
  • Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan;
  • Beban pajak yang berat
  • Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen;
  • Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana;
  • Jumlah penduduk Indonesia menurun;
  • Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru;
  • Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.


Sistem Tanam Paksa

Setelah dua gubernur jendral Belanda gagal memimpin Indonesia untuk menutup kekosongan kas negara, muncul sebuah usulan dari tokoh Belanda bernama Van Den Bosch. Mengusulkan sistem baru yang dapat mengisi dan menambah kas Negara Belanda dalam waktu yang relatif singkat.
Sehingga, tahun 1830 Van Den Bosch diangkat menjadi gubernur jendral di Indonesia. Sistem yang diberikan oleh Van Den Bosch ialah cultuurstelsel atau tanam paksa.
Ia menghapus sistem sewa tanah dan pembayaran pajak melalui uang. Menerapkan sistem tanam wajib dengan jenis tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Membayar pajak melalui setoran tanaman.
Tahun 1834, dikeluarkannya UU yang membahas tentang peraturan sistem tanam paksa ini. Isi ketentuan tersebut ialah :
1. Persetujuan dengan penduduk untuk menanam sebaian tanahnya dengan tanaman yang dijual di pasaran ekspor Eropa
2. Tanah untuk ditanam tanaman wajib seluas 1/5 dari tanah pemilik.
3. Lahan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pajak tanah
4. Pekerjaan menanam perdagangan tidak melebihi pekerjaan untuk menanam tanaman pangan
5. Jika hasil tanaman perdagangan ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar, selisihnya diserahkan ke rakyat.
6. Jika ada gagal panen pada tanaman wajib, maka dibebankan kepada pemerintah. Kecuali jika kegagalan diakibatkan kemalasan rakyat.
7. Penggarapan tanah diawasi langsung oleh kepala pribumi dan pegawai Eropa hanya mengawasi pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan hasil.
Jika diperhatikan, sistem tanam paksa ini sudah bagus dan kelihatan tidak menekan rakyat. Tapi pada kenyataannya, banyak penyimpangan-penyimpangan yang muncul yang menyebabkan sengsaranya rakyat Indonesia. Banyak kemiskinan dan kematian akibat kelaparan. Penyimpangan-penyimpangan itu ternyata bukan hanya dilakukan oleh orang Belanda saja, namun juga pribumi.
Belanda, dalam pelaksanaan sistem tanam paksa itu, menempatkan orang-orang pribumi dalam jajaran pemerintah. Mereka menjadi pegawai yang mengawasi sistem pelaksanaan tanam paksa tersebut.  Contoh penyimpangan yang dilakukan pribumi ialah pemaksaan penanaman melebihi seperlima luas tanah. Karena, jika suatu daerah itu menyetor tanaman melebihi yang diwajibkan maka daerah tersebut akan mendapat premi atau bonus.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada tanam paksa antara lain penggunaan tanah untuk tanaman ekspor melebihi seperlima, sehingga padi ditanam di sisa tanah yang kurang subur.
Juga kegagalan panen yang seharusnya dibebankan kepada pemerintah, malah dibebankan kepada petani sehingga petani harus membayar kerugian dalam jumlah yang besar. Lahan tanah untuk tanaman wajib, yang seharusnya tidak dikenakan pajak, malah dibebankan pajak.
Untuk rakyat yang tidak memiliki tanah, dikenakan kerja wajib. Tapi pada pelaksanaannya, kerja wajib tersebut melebihi jam wajib yang ditentukan. Dan rakyat yang mengerjakan tanah, mencurahkan perhatian pada perawatan tanaman wajib, sehingga untuk perawatan tanaman pangan tidak mendapatkan perhatian yang cukup.
Banyak dampak yang muncul dengan adanya tanam paksa ini. Dampak terbesar yang dirasakan oleh Belanda ialah terpenuhinya hutang-hutang dan terpenuhinya kas negara. Sedangkan untuk Indonesia, dampak yang paling terasa ialah kelaparan dan kemiskinan bahkan kematian-kematian.


latar belakang tanam paksa

Tanam paksa 1


1.      Sistem tanam paksa yang dicetuskan Van Den Bosch berlangsung pada tahun….
a.       1806-1810
b.      1811-1816
c.       1816-1824
d.      1830-1870
e.       1868-1885
2.      Sistem tanam paksa yang diusulkan Van Den Bosch di dorong oleh hal-hal sebagai berikut, kecuali…
a.       Kas negara yang kosong
b.      Keinginan para bupati untuk mendapatkan culture procenten
c.       Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak
d.      Hutang luar negeri yang berat
e.       Perang yang memakan biaya besar
3.      Pelaksanaan tanam paksa sangat membertakan rakyat bila dibandingkan denan aturannya. Hal itu disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut, kecuali….
a.       Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka
b.      Pengerjaan tanaman-tanaman ekspor sering kali jauh melebihi pengerjaan tanaman padi sehingga tanah pertanian mereka sendiri terbengkalai
c.       Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa
d.      Kelebihan hasil panen setelah diperhitungkan  dengan pajak dikmbalikan pada petani
e.       Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani
4.      Sebenarnya sistem tanam paksa merupakan kelanjutan dari praktik pemerasan yang pernah dilakukan oleh Daendels sebelumnya, yaitu …..
a.        kerja rodi
b.      Hongi tochten
c.       Prianger stelsel
d.      contingenten
e.       verplichteleverantie
5.      buku karya multatuli yang berisi tentang kisah saijah dan adinda, petani yang jadi korban tanam paksa di lebak, banten berjudul…
a.       Max havelar
b.      Eure schuld
c.       Al ik Nederlander  Was
d.      From Dark to light
e.       Indonesia mengguat
6.      Mengapa Van Den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa di Jawa
a. Di Eropa, Belanda terlibat dalam perang pada masa kejayaan Napoleon sehingga menghabiskan biaya yang besar.
b. terjadinya perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia drai Belanda pada tahun 1830
c. terjadi perang diponegoro (1825-1830) yang merupakan  perlaawanan rakyat  jajahan termahal bagi Belanda . Perang Diponegoro menghabiskan biaya kurang lebih 20 juta gulden
d. kas negara Belanda yang kosong dan utang yang ditanggung Belanda cukup berat
e. pemasukan uang dari pnanaman kopi tidak banyak
f. kegagalan mempraktikan gagasan liberal (1816-1830) dalam mengeksploitasi tanah jajahan  untuk memberikan keuntungan yang besar terhadap negeri induk

7.      Sebutkan ciri sistem  tanam paksa di Jawa
ciri utama tanam paksa keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dlm bentuk ak in natura, yitu dlam bentuk hasl-hasil pertanian mereka


8.      Jelaskan keentuan-ketentuan tanam paksa
a. rakyat menyerahkan seperlima dari tanahny untuk ditanami tanaman yang dapat di ekspor di dunia
b. tanah tersebut bebas pajak
c. pekerjaan mengerjakan tanman tidak boleh melebihi waktu penanaman
d. kegagalan panen ditanggung pemerintah
e. kelebihan hasil panen akan dikembalikan pada rakyat
f. terdapat pembagian tugas
penduduk yang tidak mempunyai tanah dipkerjkan selama 65 hari dalam setahun
f.        pelaksanaan tanam paksa dilaksanakan pihak pribumi dan pihak Eropa sebagai pengawas

9.      Jelaskan penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa
10.   a.  pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat lokal seperti bupati dan kepala desa untuk memaksa rakyt mennam tanahnya
11.   b. tanah yang digunakan lebih dari seprlima
12.   c. waktu pengerjaan lebih dari masa penanaman padi
13.   d. kegagalan panen   ditanggung oleh petani
14.   e. tanah yang ditanami tetap diknai pajak
15.   f. kelebihan hasil harus dijual  kpada pemerintah dengan harga yang tlh ditentukan
16.   g. Adanya culture procentase tanaman pemerintah harus didahulukan daripada tanaman sendiri

17.  Mengapa terjadi penyimpangan dalam pelasanaan sistem tanam paksa.
Penyebab penyimpangan tanam paksa adalah gaji bupati yang rendah sehingga bupati mencari  penghasilan tambahan, selain itu akibat dari perang Diponegoro yang membuat rakyat patuh terhadap pejabat daerah. Perubahan dari sistem sentraisas menjadi desentralisasi.


No comments:

Post a Comment